BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Dalam lingkup perilaku seksual,
konsep yang kita miliki tentang apa yang normal dan apa yang tidak normal
sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Sikap dan nilai budaya masyarakat
tentang apa yang normal dan tidak normal berbeda jauh. Sikap ini mempengaruhi
perilaku seksual mereka dan kepuasan yang mereka capai atau tidak mereka capai
dari aktivitas seksual. Dalam seks, seperti juga dalam area perilaku lainnya,
garis batas antara normal dan tidak normal tidak selalu jelas. Seks, seperti
halnya makan, adalah fungsi yang alamiah. Namun fungsi alamiah ini sangat
dipengaruhi oleh kebiasaan, cerita rakyat, budaya, takhayul, agama, dan
keyakinan-keyakinan moral.
Setiap tempat memiliki perspektif
yang berbeda tentang aktivitas seksual. Sebagai contoh, masyarakat Inis Beag
yang terletak pada batas kabut pantai Irlandia
meyakini bahwa wanita normal tidak akan mencapai orgasme dan wanita yang
mencapainya pastilah menyimpang (Messenger, 1971). Wanita melakukan hubungan
seksual dalam rangka mendapatkan anak dan menenangkan dorongan nafsu suami
mereka. Mereka tidak perlu khawatir diminta untuk melakukannya sering kali,
karena pria di Inis Beag yakin bahwa seks melemahkan kekuatan.
B. MASALAH
RUMUSAN
1.
Bagaimana Perilaku
Seksual Yang Normal Dan Abnormal
2. Apa Yang Dimaksud Dengan Parafhilia
3. Bagaimana Cara Mahasiswa Memahami Gangguan Identitas
Gender
BAB II
PEMBAHASAN
PENYIMPANGAN
SEKSUAL, PARAPHILIA DAN GANGGUAN GENDER IDENTITY
A.
Perilaku
Seksual yang Normal dan Abnormal
Dalam lingkup
perilaku seksual, konsep yang kita miliki tentang apa yang normal dan apa yang
tidak normal sangat di pengaruhi oleh faktor sosiokultural. Berbagai pola
perilaku seksual yang di anggap abnormal di Ins Beag, seperti masturbasi,
hubungan seks
premarital, dan seks oral-genital, adalah normal pada masyarakat Amerika
dilihat dari frekuensi statistik.
Sikap terhadap
homoseksualitas sangat bervariasi dari satu budaya ke budaya lain dari waktu ke
waktu. Studi pada masyarakat dari berbagai etnis menunjukkan sikap mulai dari
ketidak setujuan
hingga toleransi dan penerimaan (Ford & Beack, 1951). Dalam masyarakat AS,
dulu homoseksualitas dianggap sebagai suatu bentuk penyakit mental, namun pada
tahun 1973, American Psychiatric Assocition memutuskan untuk menghilagkan
homoseksualitas dari daftar gangguan mental. Walaupun homoseksualitas tidak
lagi dianggap sebagai gangguan mental, lesbian dan gay terus menjadi target
permusuhan, dan prasangka yang ekstrem.
Perilaku seksual
dapat dianggap abnormal jika hal tersebut bersifat self-defeating, menyimpang dari norma sosial, menyakiti orang lain,
menyebabkan distres personal, atau mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berfungsi secara normal. Gangguan – gangguan yang kita lihat dalam bab ini,
gangguan identitas gender, parafilia, dan disfungsi seksual mempunyai satu atau
lebih dari kriteria abnormalitas.
B.
Gangguan
Identitas Gendre
Identitas gender
adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah sorang pria atau wanita.
Identitas gender secara normal didasarkan pada anatomi gender. Pada keadaan
normal , identitas gender konsisten dengan anatomi gender seseorang dengan
ideentitas gendernya.
Gangguan identitas
gender dapat berawal sejak masa kanak – kanak. Anak – anak dengan gangguan ini
menemukan bahwa anatomi gender mereka merupakan sumber sdistres yang terus –
terus dan intensif. Diagnosis tidak digunakan hanya untuk melabel anak
perempuan “tomboi” dan anak laki – laki “banci”. Daiagnosis ini diterapkan pada
anak – anak secara kuat menolak sifat anatomi mereka (anak perempuan yang
memaksa untuk buang air kecil sambil berdiri atau bersikeras tidak mau
menumbuhkan buah dadanya ; anak laki – laki yang menolak penis dan testis
mereka) atau pada mereka yang berfokus pada pakaian atau aktivitas yang
merupakan stereotip dari gender lain.
Diagnosis gangguan
identitas gender diberikan baik pada anak – anak atau orang dewasa yang
mempersepsikan diri mereka secara psikologis sebagai anggota dari gender yang
berlawanan dan yang secara terus – menerus menunjukkan ketidak nyamanan terhadap anatomi
gender mereka.
Walaupun angka
keseluruhan gangguan identitas gender tidak diketahui, gangguan ini diyakini
muncul sekitar lima kali lebih banyak pada pria daripada wanita. Ganngguan ini
memiliki pola – pola yang berbeda. Bisa berakhir atau berkurang pada masa
remaja, ketika anak dapat lebih menerima identitas gender mereka. Atau bisa
juga bertahan selama masa remaja atau dewasa dan menyebabkan identitas
transeksual. Anak tersebut bisa juga mengembangkan orientasi gay atau lesbian
pada saat remaja.
Identitas gender
berbeda dengan dengan orientasi seksual. Gay dan lesbian memiliki minat erotis
pada anggota gender mereka sendiri, tetapi identitas gender mereka (perasaan
menjadi pria tau wanita) konsisten dengan anatomi seks mereka. Mereka tidak
memiliki hasrat untuk menjadi anggota gender yang berlawanan atau merasa jijik
pada alat genital mereka, seperti yang dapat kita temukan pada orang – orang
dengan gangguan identitas gender.
Tidak seperti
orientasi seksual gay atau lesbian, gangguan identitas gender jarang ditemukan.
Orang dengan gangguan identitas gender yang tertarik secara seksual pada
anggota dari anatomi gender mereka sendiri tidak menganggap diri mereka sebagai
gay atau lesbian. Gander yang mereka miliki sebelumnya merupakan kesalahan di
mata mereka. Dari sudut pandang mereka, mereka terperangkap pada tubuh dengan
gender yang berbeda.
Tidak seorang pun
mengetahui apa penyebab gangguan identitas gender (Money, 1994). Teoretikus
psikodinamika menunjuk pada kedekatan hubungan ibu anak laki – laki yang sangat
ekstrem, hubungan yang renggang antara ibu dan ayah, dan ayah yang tidak ada
atau jauh dari anaknya (Stoller, 1969). Faktor – faktor keluarga ini dapat
menjadi penyebab munculnya identifikasi yang kuat terhadap ibu dari para pria
muda, mengakibatkan pembalikan dari identitas dan peran gender yang diharapkan.
Ciri – Ciri Klinis dari Gangguan
Identitas Gender
(a)
Identifikasi yang kuat
dan persisten gender lainya.
Setidaknya
4 dari 5 ciri di bawah ini diperlukan
untuk memberikan diagnosis tersebut pada anak – anak:
1.
Ekspresi yang berulang
dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lainya (atau ekspresi dari
kepercayaan bahwa dirinya adalah bagian dari gender lain)
2.
Preferansi untuk
mengenakan pakaian yang merupakan stereotipikal dari gender lainya
3.
Adanya fantasi yang terus
–menerus mengenai menjadi anggota dari gender lain, atau asumsi memainkan peran
yang dilakukan oleh anggota gender lain dalam permainan “pura-pura”
4.
Hasrat untuk
berpartisipasi dalam aktivitas waktu luang dan permainan yang merupakan
stereotip dari gender lainya
5.
Preferentasi yang kuat
untuk memiliki teman bermain dari gender lainnya (pada usia dimana anak –anak
biasanya memilih teman bermain dari gendernya sendiri)
(b)
Perasaan tidak nyaman
yang kuat dan terus ada dengan anatomi gendernya sendiri atau dengan perilaku
yang merupakan tipe dari peran gendernya.
Pada
anak – anak, ciri – ciri ini biasanya muncul: Anak laki – laki mengutarakan
bahwa alat genital eksternal mereka menjijikan, atau akan lebih baik jika tidak
memilikinya, menunjukan penolakan pada mainan laki – laki, permainan
“maskulin”, dan permainan yang kasar serta jungkir balik. Anak perempuan
memilih untuk tidak buang air kecil sambil duduk, menunjukkan keinginan untuk
tidak menumbuhkan payudara atau menstruasi, atau menunjukkan penolakan pada
pakaian “feminin”. Remaja dan dewasa biasanya menunjukkan bahwa mereka
dilahirkan dengan gender yang salah dan mengekspresikan harapan untuk
intervensi medis (misalnya: penanganan hormon atau pembedahan) untuk
menghilangkan karakteristik seksual mereka dan untuk meniru karakteristik dari
gender lainya.
(c)
Tidak ada “kondisi
interseks”, seperti anatomi seksual yang ambigu, yang mungkin membangkitkan
perasaan – perasaan tersebut.
(d)
Ciri – ciri tersebut
menimbulkan distres yang serius atau hendaknya pada area penting yang terkait
dengan pekerjaan, sosial atau fungsi lainya.
C.
Parafilia
Kata parafilia (paraphilia) diambil dari akar bahasa
yunani para, yang artinya “pada sisi
lain”, dan philos artinya “mencintai”. Pada parafilia, orang menunjukkan keterangsangan seksual (mencintai)
sebagai respons terhadap stimulus yang tidak biasa (“pada sisi lain” dari
stimulus normal). Menurut DSM-IV,
parafilia melibatkan dorongan dan fantasi seksual yang berulang dan kuat, yang
bertahan selama 6 bulan atau lebih yang berpusat pada (1) objek bukan seperti
manusia seperti pakaian dalam, sepatu, kulit, atau sutra, (2) perasaan
merendahkan atau menyakiti diri sendiri atau pasangannya, atau (3) anak – anak
dan orang lain yang tidak dapat atau tidak mampu memberikan persetujuan.
Meskipun untuk menegakkan diagnosis ini tidak dibutuhkan kenyataan bahwa
dorongan parafilia tersebut didemonstrasikan (orang dapat merasa distres dengan
adanya dorongan tersebut tetapi tidak mendemonstrasikanya), orang dengan parfilia
sering kali menampilkan perilaku terbuka seperti ekshibisionisme dan
voyeurisme.
Sejumlah penderita
parafilia dapat melakukan fungsi seksual tanpa kehadiran stimulus atau fantasi
parafilia. Sementara yang lainya menggunakan stimulus parafilia saat berada di
bawah stres/tekanan. Tetapi ada beberapa orang yang tidak dapat terangsang
kecuali jika menggunakan stimulus ini, baik secara nyata atau dalam fantasi.
Bagi sejumlah
individu, parafilia adalah cara eksklusif untuk mencapai kepuasan seksual. Kecuali
masokisme seksual dan beberapa kasus khusus dari gangguan lain, parafilia
hampir tidak pernah didiagnosis pada wanita (Sligman & Hardenburg, 2000).
Bahkan pada masokisme , diperkirakan bahwa pria yang mendapatkan diagnosis ini
lebih banyak daripada wanita dengan rasio 20 banding 1(APA, 2000).
Sejumlah penderita
parafilia secara relatif tidak berbahaya dan tidak menyebabkan jatuh korban.
Diantaraya terdapat fetishisme dan fetishisme transvestik. Sedangkan yang lain,
seperti ekshibisionisme dan pedofilia, melibatkan orang lain sebagai korban.
Parafilia yang paling berbahaya adalah sadisme seksual yang dilakukan dengan
pasangan tanpa persetujuanya. Voyeurisme terletak di antaranya, karena “korban”
tidak mengetahui kalau ia sedang di intip.
Jenis-Jenis
Parafilia:
1.
Ekshibisionisme
Ekshibisionisme melibatkan
dorongan kuat dan berulang untuk menunjukkan alat genital pada orang yang tak
dikenal yang tidak medukungnya, dengan tujuan agar korban terkejut, syok, atau
terangsang secara seksual. Orang tersebut dapat bermasturbasi sambil
membayangkan atau benar – benar menunjukkan alat genitalnya (hampir semua kasus
terjadi pada pria). Sasaran/korbannya hampir selalu wanita.Orang yang
didiagnosis mengidap ekshibisionisme biasanya tidak tertarik pada kontak
seksual aktual dengan korban dan karena itu biasanya tidak berbahaya.
2.
Fetishisme
Kata perancis fetiche diduga berasl dari bahasa
portugis feitico, yang berarti
sesuatu “daya tarik ajaib”. Dalam kasus ini, “ajaib” terletak pada kemampuan
objek untuk merangsang secara seksual. Ciri utama dari fetishisme adalah
dorongan seksual yang kuat dan berulang serta membangkitkan fantasi yang
melibatkan objek tidak hidup,seperti bagian tertentu dari pakaian (celana
dalam, stoking, sepatu boot, sepatu, kulit, sutra, dan sejenisnya). Normal bagi
pria untuk menyukai tampilan, rasa, dan aroma baju dalam milik kekasih mereka.
Namun, pria dengan fetishisme ebih memilih objeknya daripada orang yang
memilikinya dan tidak dapat terangsang tanpa objek tersebut. Mereka sering
mengalami kepuasan seksual melalui masturbasi sambil membelai, menggosok –
gosok, atau mencium objek tersebut atau dengan melihat pasangan mereka
menggunakan itu selama melakukan aktivitas seksual.
Pada banyak kasus,
munculnya fetishisme dapat dilacak dari masa kanak – kanak awal. Sebagian besar
indifidu dengan fetish terdapat katet pada satu sampel penelitian mampu untuk
mengingat kembali pengalaman pertama ketertarikan fetish mereka pada karet di
sekitar usia 4 dan 10 tahun (Gosselin & Wilson, 1980).
3.
Transvestik
Fetishisme
Ciri utama dari
transvestik fetishisme adalah dorongan yang kuat dan berulang serta vantasi
yang berhubungan yang melibatkan memakai pakain lawan jenis dengan tujuan untuk
mendapatkan rangsangan seksual. Transvestik fetishisme di laporkan hanya
terjadi pada pria heteroseksual. Sebagian besar pria dengan transvestisme sudah
menikah dan terlibat dalam aktivitas seksual dengan isti mereka, tetapi mereka
mencari tambahan kepuasan seksual.
4.
Voyeurisme
Ciri utama dari
voyeurisme adalah bertindak berdasarkan atau mengalami distres akibat munculnya
dorongan seksual yang kuat dan terus – menerus sehubungan dengan fantasi yang
melibatkan melihat/memperhatikan orang, biasanya orang tidak dikenal, yang
sedang tidak berpakaian atau membuka pakaian atau sedang melakukan aktivitas
seksual dimana mereka tidak menduganya. Tujuan, melihat, atau “mengintip”
adalah untuk mencapai kepuasan seksual. Oran yang melakukan voyeurisme biasanya
tidak menginginkan aktivitas seksual dengan orang yang diobservasi.
Selama melakukan
tindakan voryeuristik, orang tersebut biasanya bermasturbasi sambil melihat atau
membayangkan sedang melihat/menonton. Mengintip dapat menjadi penyaluran
seksual yang eksklusif. Sejumlah oerang yang melakukan tindakan voyeuristik
menempatkan diri mereka pada situasi yang beresiko. Adanya kemungkinan tertangkap
atau dilukai tampaknya semakin meningkatkan gairah mereka.
5.
Froterisme
Kata Prancis frottage mengacu pada teknik artistik
dari membuat gambar dengan cara menggosok pada objek yang timbul. Ciri utama
dari parafelia froterisme adalah adanya dorongan seksual yang kuat secara
persisten dan fantasi terkait yang melibatkan menggosok atau menyentuh tubuh
orang tanpa izin. Froterisme atau meremas biasanya terjadi pada tempat – tempat
ramai.
6.
Pedofilia
Pedofilia (pedophilia) diambil dari bahasa yunani paidos,
berarti “anak”. Ciri utama dari pedofilia adalah dorongan seksual yang kuat dan
berulang serta adanya fantasi terkait yang melibatkan aktifitas seksual dengan
anak – anak yang belum puber (biasanya usia 13 tahun atau lebih muda).
Penganiyayaan seksual terhadap anak – anak bisa muncul dan bisa juga tidak.
Untuk mendapatkan diagnosis pedofilia, orang tersebut setidaknya harus berusia
16 tahun, dan setidaknya 5 tahun lebih tua daripada anak atau anak – anak yang
mereka rasakan ketertarikan secara seksual atau yang menjadi korban. Pada
beberapa kasus pedofilia, seseorang hanya tertarik pada anak – anak. Pada kasus
lain, prang tersebut juga tertarik pada orang dewasa.
Penyebab pedofilia
kompleks dan berbvariasi. Sejumlah kasus cocok dengan stereotip orang yang
lemah, pemalas, mempunyai hubungan sosial yang canggung, dan seseorang
penyendiri yang merasa terancam oleh hubungan dengan orang dewasa dan berbelok
pada anak – anak untuk mendapat kepuasan seksual karena anak – anak tidak
banyak mengkritik dan menuntut (Ames & Houston, 1990). Pada sejumlah kasus
lain, bisa jadi pengalaman seksual masa kanak – kanak dengan anak – anak lain
dirasa sangat menyenangkan sehingga pria tersebut, pada saat dewasa,
berkeinginan untuk merasakan kembali kegembiraan pada masa lalu. Atau mungkin
pada beberapa kasus pedofiilia. Pria yang teraniyaya secara seksual oleh orang
dewasa pada masa kanak – kanaknya sekarang bisa membalikan situasi sebagai
usaha untuk mendapatkan perasaan berkuasa. Pria yang tindakan pedofilnya
melibatkan hubungan inses dengan anak – anak mereka sendiri cenderung berdada
pada salah satu titik ekstrem dari spektrum dominasi, bisa menjadi sangat
dominan atau sangat pasif (Ames &
Houston, 1990).
7.
Masokisme
Seksual
Masokisme seksual,
berasal dari nama seorang penulis Novelis Austria, Leopold Ritter von
Sacher-Masoch (1836-1895), yang menulis cerita dan novel tentang pria yang
mencari kepuasan seksual dari wanita yang memberikan rasa nyerisakit pada
dirinya, sering dalam bentuk dipukul atau dicambuk. Masokisme seksual
melibatkan dorongan kuat yang terus menerus dan fantasi yang terkait dengan
tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan, diikat, dicambuk, atau
dibuat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu dapat berupa tindakan yang
menyebabkan atau didasari oleh distres personal. Pada sejumlah kasus masokisme
seksual, orang tersebut tidak dapat mencapai kepuasan seksual jika tidak ada
rasa sakit atau malu.
Pada sejumlah
kasus, masokisme seksual melibatkan situasi mengikat atau menyakiti diri
sendiri pada saat masturbasi atau berfantasi seksual. Ekspresi masokisme yang
paling berbahaya adalah hipoksifilia, dimana partisipan merasa terangsang
secara seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya misalnya dengan menggunakan
jerat, kantung plastik, bahan kimia, atau tekanan pada dada saat melakukan
aktivita seksual, seperti masturbasi. Pengurangn oksigen biasanya disertai
dengan fantasi sesak nafas atau dengan dibuat sesak napas oleh pasangan. Orang
yang melakukan aktivitas ini biasanya menghentikannya sebelum mereka kehilangan
kesadaran, tetapi terkadang kematian karena kehabisan napas juga terjadi akibat
salah perhitungan (Blanchard & Hucker, 1991).
8.
Sadisme
Seksual
Sadisme seksual
dinamai berdasarkan nama Marquis de Sade, pria prancis pada abad ke-18 yang terkenal,
yang menulis cerita tentang kenimatan mencapai kepuasan seksual dengan
memberikan rasa sakit atau rasa malu pada orang lain. Sadisme seksual adalah
sisi kebalikan dari masokisme seksual. Sadisme seksual melibatkan dorongan yang
kuat dan berulang serta fantasi terkait untuk melakukan suatu tindakan dimana
seseorang dapat terangsang secara seksual dengan menyebabkan penderitaan fisik
atau rasa malu pada orang lan. Orang dengan parafilia jenis ini ada yang
mewujudkan fantasi mereka atau malah terganggu dengan adanya fantasi tersebut.
Mereka dapat mencari pasangan yang sejalan, bisa jadi kekasih atau istri dengan
kelainan masokistik, atau bisa juga pekerja seks. Akan tetai ada juga yang
mengintai dan menyerang korban tanpa izin dan menjadi terangsang dengan
memberikan rasa sakit atau penderitaan pada korban mereka. Pemerkosa sadistik
terdapat pada kelompok terakhir ini. Namun, kebanyakan pemerkosa tidak mencari
rangsangan seksual dengan menyakiti korban mereka; mereka bahkan dapat
kehilangan hasrat seksual ketika melihat korban mereka kesakitan.
Banyak orang
memiliki fantasi sadistik atau masokistik pada saat – saat tertentu atau
melakukan permainan seks yang melibatkan simulasi atau bentuk ringan
sadomasokisme dengan pasangan mereka. Sadomasokisme menggambarkan interaksi
seksual yang secara mutual memuaskan yang melibatkan baik tindakan sadistik dan
masokistik. Simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan sikat bulu untuk
menyerang pasangan, sehingga tidak menyebabkan rasa sakit yang sebenarnya.
Orang yang terlibat dalam sadomasokisme biasanya saling bertukar peran saat
melakukkan aktivitas seksual atau dari satu aktivitas ke aktivitas lainya.
Diagnosis klinis untuk masokisme atau sadisme seksual biasanya tidak diberikan
kecuali jika orang tersebut merasa tertekan akibat perilaku atau fantasinya
atau tindakanya membahayakan diri sendiri atau orang lain. Ada beberapa bentuk lain
dari parafilia. Termasuk diantaranya melaukan panggilan telepon, nekrofilia
(dorongn seksual atau fantasi yang melibatkan kontak seksual dengan mayat),
partialisme (berfokus hanya pada satu bagian tubuh), zoofilia (dorongan seksual
atau fantasi yang melibatkan kontak seksual dengan binatang), dan rangsangan
seksual yang terkait dengan kotoran manusia (koprofilia), obat pencahar (klismafilia),
dan urein (urofilia)
Penanganan Parafilia
Orang dengan
parafilia biasanya tidak mencari penanganan atas keinginan sendiri. Mereka
biasanya menerima penanganan di penjara setelah mereka divonis melakukan
penyerangan seksual. Atau mereka ditunjuk ke sebuah penyedia penanganan oleh
pengadilan. Dalam kondisi ini, tidak mengherankan bahwa pelaku penyerangan
seksualsering kali melawan atau menolak penanganan. Terapis menyadari bahwa
penanganan dapat menjadi sia – sia jika klien kurang termotivasi untuk mengubah
perilaku mereka. Namun demikian, bukti menunjukkan bahwa sejumlah bentuk
penanganan, terutama terapi terapi perilaku dan terapi kognitif behavioral, dapat membantu perilaku
penyerangn seksual yang ingin mengubah perilaku mereka.
Salah satu tehnik
behavioral yang digunakan untuk menangani parafilia adalah aversive
conditioning. Tujuan dari pandangan ini adalah membangkitkan respons emosional
negatif pada stimulus atau fantasi yang tidak tepat. Dalam teknik ini, stimulus
yang membangkitkan rangsangan seksual (misalnya, celana dalam) dipasangkan
berulang kali dengan stimulus aversif (misalnya, kejutan listrik) dengan
harapan agar stimulus tersebut juga akan menjadi stimulus asertif. Keterbatasan
mendasar dari aversive conditioning adalah hal ini tidak dapat membantu individu
untuk mendapatkan perilaku yang lebih adaptif sebagai ganti dari pola respons
maladaptif.
D.
Disfungsi
Seksual
Disfungsi seksual
meliputi maslah dalam minat, rangsangan, atau respon seksual. Kasus disfungsi
seksual tersebar dalam masyarakat, dialami oleh 43% wanita dan 30% pria menurut
survei nasional AS terbaru, (Laumann, Paik & Rosen, 1999). Gangguan ini
sering kali merupakan sumber distres bagi orang yang mengalaminya dan bagi
pasangan mereka. Ada beberapa tipe disfungsi seksual, tetapi semuanya cenderung
memiliki sejumlah ciri yang sama. Ciri – ciri umum dari disfungsi seksual
adalah sebagai berikut:
1.
Takut akan kegagalan
2.
Asumsi peran sebagai
penonton dan bukan sebagai pelaku
3.
Kurangnya self esteem
4.
Efek emosional
5.
Perilaku menghindar
a.
Siklus
Respons Seksual
Disfungsi seksual mempengaruhi
pemulaan atau penyesuaian siklus respons seksual. Sebagian besar pemahaman kita
mengenai siklus respons seksual didasarkan
pada hasil kerja William Masters dan Virginia Johnson yang merupakan perintis
penelitian seks. Beberapa hasil kerja mereka dan beberapa orang lainya, seperti
terapis seks Helen Singer Kaplan, DSM menjabarkan siklus respons seksual
dalamempat fase yang berbeda yaitu fase keinginan, fase perangsangan, fase
orgasme, fase resolusi
b.
Jenis
– jenis Disfungsi Seksual
DSM-IV
Mengelompokkan disfungsi seksual dalam kategori berikut ini:
1.
Gangguan hasrat seksual (Sexual desire disorder)
2.
Gangguan rangsangan
seksual (Sexual arousal disorder)
3.
Gangguan Orgasme (Orgasm disorder)
4.
Gangguan sakit/nyeri
seksual (Sexual paint disorder)
c.
Terapi
Seks
Sebelum
dilakukannya penelitian yang menggemparkan oleh peneliti seks William Masters
dan Virginia Jhonson pada tahun 1960-an , tidak ada penanganan yang efektif
untuk sebagian besar disfungsi seksual. Bentuk terapi psikoanalisis misalnya,
mengguanakan pendekatan tidak langsung terhadap disfungsi seksual. Diasumsikan
bahwa disfungsi seksual mencerminkan konflik yang mendasari, dan disfungsi
dapat teratasi jika konflik yang mendasari-perkiraan penyebab dari
disfungsi-dipercaya melalui psikoanalisis. Kurangnya bukti yang menunjukkan
bahwa pendekatan psikoanalisis dapat mengatasi disfungsi seksual menyebabkan
para klinisi dan peneliti mengembangkan pendekatan lain yang lebih memfokuskan
secara langsung pada masalah seksual itu sendiri.
Terapi seks
kontemporer mengasumsikan bahwa disfungsi seksual dapat ditangani dengan secara
langsung memodifikasi interaksi seksual pasangan dan pola – pola komunikasi.
Diawali oleh Masters dan Johnson, terapi seks menggunakan beragam teknik CBT
sederhana yang berpusat pada meningkatkan harapan – harapan self-efficacy,
memperbaiki kemampuan pasangan untuk membantu mereka mengatasi masalah dalam
hubungan yang dapat menganggu fungsi seksual. Jika memungkinkan, kedua pasangan
dilibatkan dalam terapi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perilaku seksual
dapat dianggap abnormal jika bersifat self-defeating, menyimpang dari norma
sosial, menyakiti orang lain, menyebabkan distres personal, atau mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berfungsi secara normal. Gangguan – gangguan yang
kita lihat dalam bab ini, gangguan identitas gender, parafilia, dan disfungsi seksual
mempunyai satu atau lebih dari kriteria abnormalitas.
Paraphilia
adalah penyimpangan seksual yang melibatkan timbulnya rangsangan terhadap
stimulus tertentu seperti objek non manusia (misalnya,sepatu atau pakaian).
Penghinaan atau pemberian rasa sakit pada diri sendiri atau pasangan, atau anak-anak.
Gangguan
identitas gender itu, orang dengan gangguan identitas gender merasa bahwa
anatomi gender mereka merupakan sumber distress yang terus ada dan itensif.
Orang dengan gangguan ini dapat mencoba untuk mengubah organ seks mereka
sehingga menyerupai lawan jenis, dan banyak yang melakukan operasi penggantian
gender untuk mencapai tujuan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar