BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Prilaku keagamaan pada umumnya merupakan cerminan dari pemahaman seseorang terhadap agamanya. Jika seseorang memahami agama secara formal atau menekankan aspek lahiriahnya saja, seperti yang nampak ritus-ritus keagamaan yang ada, maka sudah tentu akan melahirkan prilaku keagamaan yang lebih mengutamakan bentuk formalitas atau lahiriahnya juga.
Dalam lingkungan masyarakat banyak sekali berbagai macam budaya yang berpengaruh dalam suatu kepercayaan yang di anutnya seperti Agama atau kepercayaan.Karena penduduk di Indonesia beragam suku serta agama yang di anutnya. Dalam bidang agama, perubahan sosial ikut mempengaruhi kondisi keberagamaan masyarakat yang ditandai dengan adanya dua gejala yang sangat paradoksal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja Faktor-faktor Sosial dalam Agama?
2. Apa yang dimaksud dengan Konflik Moral?
3. Bagaimana kaitan Agama dan Kebutuhan-Kebutuhan Manusia?
4. Apa yang dimaksud Agama dan Masalah Sosial?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Faktor-faktor Sosial dalam Agama
2. Untuk mengetahui Konflik Moral
3. Untuk mengetahui Agama dan Kebutuhan-Kebutuhan Manusia
4. Untuk mengetahui Agama dan Masalah Sosial
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor-faktor Sosial dalam Agama
Perubahan sosial keagamaan dalam kehidupan masyarakat modern telah membawa konsekuensi yang sangat sublimatif dalam kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi pada masyarakat biasanya ditandai dengan adanya perubahan dari agraris tradisional ke industrialisasi modern.
Perubahan yang terjadi juga mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat, seperti pandangan bahwa kebersamaan (egaliter) adalah bagian dari ajaran agama dan warisan luhur budaya bangsa berubah menjadi masyarakat yang memiliki pola pikir individualistis, cenderung egoistis dan apatis terhadap aspek-aspek metafisis.
Kecenderungan ini terjadi karena adanya imbas dari proses industrialisasi yang menyertai perubahan sosial masyarakat yang memperlemah fungsi agama dalam dominasi kehidupan masyarakat.
Beberapa klasifikasi faktor- faktor yang bisa menghasilkan sikap keagamaan, diantaranya:
1. Faktor sosial
Mencakup pengaruh sosial dalam perkembangan:
- sikap keagamaan, yaitu: mengawali pembahasan mengenai sikap keagamaan, maka terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri. Dalam pengertian umum, sikap dipandang sebagai seperangkat reaksiefektif terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penawaran, pemahaman dan penghayatan individu.
Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang, bukan sebagai pengaruh bawaan (faktor intern) seseorang. Bagaimana bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen kognisi, afeksi, dan konasi seseorang dengan masalah-masalah yang menyangkut agama.
- pendidikan orang tua
- tradisi-tradisi sosial, dan tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu. Konsep psokologik yang erat hubungannya dengan pengaruh tersebut disebut konsep sugesti.
2. Faktor alami dalam agama
Pada umumnya anggapan tentang keindahan, keselarasan dan kebaikan dapat dirasakan dalam dunia nyata memainkan peranan dalam membentuk sikap keagamaan tersebut.
Ada tiga jenis pengalaman diantaranya faktor yang memberi sumbangan terhadap perkembangan sikap keagamaan; pengalaman mengenai dunia nyata, mengenai konflik moral, dan mengenai keadaan-keadaan emosional tertentu yang tampak memiliki kaitannya dengan agama.
3. Faktor Kebutuhan
Kebutuhan-kebutuhan bisa dikelompokkan secara garis besar menjadi empat: kebutuhan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.
4. Faktor penalaran/ pemikiran verbal dalam perkembangan sikap keagamaan
Ada pendapat mengenai penalaran ini. Dalam banyak tulisan polemik mengenai agama, bahwa faktor inni memainkan peranan lebih besar dalam pembentukan pandangan keagamaan dibandingkan dengan apa yang ada pada umumnya dipertimbangkan oleh setiap ahli psikologi.
Perubahan sosial keagamaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat harus diterima sebagai suatu kondisi dinamis atau suatu keharusan dalam hidup manusia. Sebagai makhluk yang memiliki naluri dinamis, kecenderungan untuk selalu tumbuh berkembang dan berubah pasti ada. Ibarat air bah yang terus mengalir dengan derasnya, manusia terus menerus berjuang untuk melakukan perubahan menuju kesempurnaan
Faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, dari pendidikan yang kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap orang-orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi yang kita terima dari masa lampau. Mungkin kita cendrung menganggap faktor ini kurang penting dalam perkembangan agama kita dibandingkan dengan penelitian para ahli psikologi. Tidak ada seorang pun di antara kita dapat mengembangkan sikap-sikap keagamaan kita dalam keadaan terisolasi dari saudara-saudara kita dalam masyarakat. Sejak masa kanak-kanak hingga masa tua kita menerima dari perilaku orang-orang di sekitar kita dan dari apa yang mereka katakan berpengaruh terhadap sikap-sikap keagamaan kita. Tidak hanya keyakinan-keyakinan kita yang terpengaruh oleh faktor-faktor sosial, pola-pola eksperesi emosianal kita pun, sampai batas terakhir, bisa dibentuk oleh lingkungan sosial kita.
Faktor-faktor sosial juga tampak jelas dalam pembentukan keyakinan keagamaan, tetapi secara prinsip ia tidak melalui penampilan yang berlandasan penalaran sehingga keyakinan-keyakinan seseorang terpegaruh oleh orang lain. Tidak diragukan sama sekali bahwa penalaran memainkan peranan dalam intraksi timbal-balik di antara berbagai sistem keyakinan banyak orang, tetapi peranan jauh lebih kecil dibandingkan dengan proses-proses psikologi lain yang non-rasional. Tidak ada seseorang pun dapat beranggapan banwa cara untuk mengajarkan tentang Tuhan kepada anak kecil adalah dengan mengemukakan argumen rasioanal mengenai adanya Tuhan itu. Pengajaran harus dilakukan lebih dahulu, sedangkan saat bagi argumen-argumen penegasan tentang kebenaran ajaran-ajaran agama yang diberikan oleh orang-orang terhormat (terutama bila penegasannya diulang-ulang dan dengan penuh keyakinan) mungkin berpengaruh yang didasarkan atas penalaran, adalah sugesti. Agar kita dapat memahami faktor sosial dalam agama itu, kita harus menelaah psikologi segesti ini.
2.2 Konflik Moral
Ahli psikologi tidak mau membicarakan masalah-masalah filosofik yang berkaitan dengan hakikat kewajiban-kewajiban filosofik yang berkaitan dengan hakikat kewajiban-kewajiban yang disebabkan oleh hukum moral itu. Hukum moral bisa dianggap sebagai sistem tatanan sosial yang dikembangkan oleh suatu masyarakat dan diteruskan kepada generasi-genarasi berikutnya melalui proses pengkondisian sosial. Di pihak lain, ia juga dapat dianggap sebagai sistem kewajiban yang mengikat manusia tanpa mempermasalahkan apakah sistem itu bermanfaat atau tidak dilihat dari sisi sosial.
Sejumlah masyarakat menyatakan bahwa kewajiban-kewajiban ini dikendalikan secara intuitif; sementara masyarakat-masyarakat lainnya berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban itu bisa didedukasikan dengan berbagai proses penalaran, dan masyarakat-masyarakat lainnya lagi menganggpa kewajiban-kewajibab itu diwahyukan oleh Tuhan secara adikodrati. Apapun jawaban yang bisa diberikan terhadap persoalan-persoalan etik ini, masalah yang penting bagi ahli psikologi adalah bahwa konflik moral itu merupakan fakta psikologik yang benar-benar ada.
2.3 Agama dan Kebutuhan-Kebutuhan Manusia
Orang-orang yang berspekulasi tentang asal-usul agama sering mengemukakan gagasan bahwa agama merupakan tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang tidak sepenuhnya terpenuhi di dunia ini. Kebutuhan dasar manusia primitif adalah keamanan terhadap berbagai ancaman seperti kelaparan, penyakit, dan kehancuran oleh musuh-musuhnya. Banyak di antara kehidupan sehari-hari dalam berburu, pertanian, dan sebagainya, diarahkan kepada upaya untuk menghindari bahaya-bahaya ini, meskipun dia sama sekali tidak berhasil melenyapkan bahaya-bahaya itu. Untuk mendukung kegiatan-kegiatan pengalaman ini dia menambahkan beberapa sarana yang dipungut dari keyakinannya terhadap adanya dunia spiritual: [dalam bentuk] perbuataan-perbuatan ritual dan doa-doa pengharapan, yang juga dianggap dapat melindunginya.
Harapan untuk mendapatkan keamanan dengan menggunkan kekuatan-kekuatan spiritual ini barangkali bisa diduga sebagai salah satu sumber sikap keagamaan. Ancaman-ancaman terhadap seseorang anggota masyarakat berperadaban moderen tidak identik: rasa takut kepada kelaparan jauh sekali, tetapi rasa takut kepada penyakit tetap ada, meskipun ketakutan kepada kehancuran melalui perang lebih besar daripada yang dirasakan sebelumnya.
2.4 Agama dan Masalah Sosial
Dalam keseharian sebagai contoh anak jalanan merupakan anak yatim, umunya mereka tergabung dalam kelompok sebaya atau dalam kegiatan yang sama. Ada kelompok pengamen, pemulung, pengemis, dsb. Mengamati lingkungan pergaulan sehari-hari serta kegiatan yang mereka lakukan, maka kasus anak jalanan selain dapat menimbulkan kerawanan sosial, juga kerawanan dalam nilai-nilai keagamaan.
Selain latar belakang sosial ekonomi, mereka ini pun tak memiliki kesempatan untuk memperoleh bimbingan dan pendidikan keagamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar