Senin, 01 Mei 2017

Psikologi Abnormal "Penyimpangan Seksual, Paraphilia dan Gangguan Gender Identity"

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
            Dalam lingkup perilaku seksual, konsep yang kita miliki tentang apa yang normal dan apa yang tidak normal sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Sikap dan nilai budaya masyarakat tentang apa yang normal dan tidak normal berbeda jauh. Sikap ini mempengaruhi perilaku seksual mereka dan kepuasan yang mereka capai atau tidak mereka capai dari aktivitas seksual. Dalam seks, seperti juga dalam area perilaku lainnya, garis batas antara normal dan tidak normal tidak selalu jelas. Seks, seperti halnya makan, adalah fungsi yang alamiah. Namun fungsi alamiah ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, cerita rakyat, budaya, takhayul, agama, dan keyakinan-keyakinan moral.
            Setiap tempat memiliki perspektif yang berbeda tentang aktivitas seksual. Sebagai contoh, masyarakat Inis Beag yang terletak pada batas kabut pantai Irlandia  meyakini bahwa wanita normal tidak akan mencapai orgasme dan wanita yang mencapainya pastilah menyimpang (Messenger, 1971). Wanita melakukan hubungan seksual dalam rangka mendapatkan anak dan menenangkan dorongan nafsu suami mereka. Mereka tidak perlu khawatir diminta untuk melakukannya sering kali, karena pria di Inis Beag yakin bahwa seks melemahkan kekuatan.

B.  MASALAH RUMUSAN
1.      Bagaimana Perilaku Seksual Yang Normal Dan Abnormal
2.      Apa Yang Dimaksud Dengan Parafhilia
3.      Bagaimana Cara Mahasiswa Memahami Gangguan Identitas Gender







BAB II
PEMBAHASAN

PENYIMPANGAN SEKSUAL, PARAPHILIA DAN GANGGUAN GENDER IDENTITY
A.    Perilaku Seksual yang Normal dan Abnormal
Dalam lingkup perilaku seksual, konsep yang kita miliki tentang apa yang normal dan apa yang tidak normal sangat di pengaruhi oleh faktor sosiokultural. Berbagai pola perilaku seksual yang di anggap abnormal di Ins Beag, seperti masturbasi, hubungan seks premarital, dan seks oral-genital, adalah normal pada masyarakat Amerika dilihat dari frekuensi statistik.
Sikap terhadap homoseksualitas sangat bervariasi dari satu budaya ke budaya lain dari waktu ke waktu. Studi pada masyarakat dari berbagai etnis menunjukkan sikap mulai dari ketidak setujuan hingga toleransi dan penerimaan (Ford & Beack, 1951). Dalam masyarakat AS, dulu homoseksualitas dianggap sebagai suatu bentuk penyakit mental, namun pada tahun 1973, American Psychiatric Assocition memutuskan untuk menghilagkan homoseksualitas dari daftar gangguan mental. Walaupun homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai gangguan mental, lesbian dan gay terus menjadi target permusuhan, dan prasangka yang ekstrem.
Perilaku seksual dapat dianggap abnormal jika hal tersebut bersifat self-defeating, menyimpang dari norma sosial, menyakiti orang lain, menyebabkan distres personal, atau mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi secara normal. Gangguan – gangguan yang kita lihat dalam bab ini, gangguan identitas gender, parafilia, dan disfungsi seksual mempunyai satu atau lebih dari kriteria abnormalitas.
B.     Gangguan Identitas Gendre
Identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah sorang pria atau wanita. Identitas gender secara normal didasarkan pada anatomi gender. Pada keadaan normal , identitas gender konsisten dengan anatomi gender seseorang dengan ideentitas gendernya.
Gangguan identitas gender dapat berawal sejak masa kanak – kanak. Anak – anak dengan gangguan ini menemukan bahwa anatomi gender mereka merupakan sumber sdistres yang terus – terus dan intensif. Diagnosis tidak digunakan hanya untuk melabel anak perempuan “tomboi” dan anak laki – laki “banci”. Daiagnosis ini diterapkan pada anak – anak secara kuat menolak sifat anatomi mereka (anak perempuan yang memaksa untuk buang air kecil sambil berdiri atau bersikeras tidak mau menumbuhkan buah dadanya ; anak laki – laki yang menolak penis dan testis mereka) atau pada mereka yang berfokus pada pakaian atau aktivitas yang merupakan stereotip dari gender lain.
Diagnosis gangguan identitas gender diberikan baik pada anak – anak atau orang dewasa yang mempersepsikan diri mereka secara psikologis sebagai anggota dari gender yang berlawanan dan yang secara terus – menerus menunjukkan ketidak nyamanan terhadap anatomi gender mereka.
Walaupun angka keseluruhan gangguan identitas gender tidak diketahui, gangguan ini diyakini muncul sekitar lima kali lebih banyak pada pria daripada wanita. Ganngguan ini memiliki pola – pola yang berbeda. Bisa berakhir atau berkurang pada masa remaja, ketika anak dapat lebih menerima identitas gender mereka. Atau bisa juga bertahan selama masa remaja atau dewasa dan menyebabkan identitas transeksual. Anak tersebut bisa juga mengembangkan orientasi gay atau lesbian pada saat remaja.
Identitas gender berbeda dengan dengan orientasi seksual. Gay dan lesbian memiliki minat erotis pada anggota gender mereka sendiri, tetapi identitas gender mereka (perasaan menjadi pria tau wanita) konsisten dengan anatomi seks mereka. Mereka tidak memiliki hasrat untuk menjadi anggota gender yang berlawanan atau merasa jijik pada alat genital mereka, seperti yang dapat kita temukan pada orang – orang dengan gangguan identitas gender.
Tidak seperti orientasi seksual gay atau lesbian, gangguan identitas gender jarang ditemukan. Orang dengan gangguan identitas gender yang tertarik secara seksual pada anggota dari anatomi gender mereka sendiri tidak menganggap diri mereka sebagai gay atau lesbian. Gander yang mereka miliki sebelumnya merupakan kesalahan di mata mereka. Dari sudut pandang mereka, mereka terperangkap pada tubuh dengan gender yang berbeda.
Tidak seorang pun mengetahui apa penyebab gangguan identitas gender (Money, 1994). Teoretikus psikodinamika menunjuk pada kedekatan hubungan ibu anak laki – laki yang sangat ekstrem, hubungan yang renggang antara ibu dan ayah, dan ayah yang tidak ada atau jauh dari anaknya (Stoller, 1969). Faktor – faktor keluarga ini dapat menjadi penyebab munculnya identifikasi yang kuat terhadap ibu dari para pria muda, mengakibatkan pembalikan dari identitas dan peran gender yang diharapkan.
Ciri – Ciri Klinis dari Gangguan Identitas Gender
(a)   Identifikasi yang kuat dan persisten gender lainya.
Setidaknya 4 dari 5 ciri di bawah ini  diperlukan untuk memberikan diagnosis tersebut pada anak – anak:
1.      Ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lainya (atau ekspresi dari kepercayaan bahwa dirinya adalah bagian dari gender lain)
2.      Preferansi untuk mengenakan pakaian yang merupakan stereotipikal dari gender lainya
3.      Adanya fantasi yang terus –menerus mengenai menjadi anggota dari gender lain, atau asumsi memainkan peran yang dilakukan oleh anggota gender lain dalam permainan “pura-pura”
4.      Hasrat untuk berpartisipasi dalam aktivitas waktu luang dan permainan yang merupakan stereotip dari gender lainya
5.      Preferentasi yang kuat untuk memiliki teman bermain dari gender lainnya (pada usia dimana anak –anak biasanya memilih teman bermain dari gendernya sendiri)
(b)   Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus ada dengan anatomi gendernya sendiri atau dengan perilaku yang merupakan tipe dari peran gendernya.
Pada anak – anak, ciri – ciri ini biasanya muncul: Anak laki – laki mengutarakan bahwa alat genital eksternal mereka menjijikan, atau akan lebih baik jika tidak memilikinya, menunjukan penolakan pada mainan laki – laki, permainan “maskulin”, dan permainan yang kasar serta jungkir balik. Anak perempuan memilih untuk tidak buang air kecil sambil duduk, menunjukkan keinginan untuk tidak menumbuhkan payudara atau menstruasi, atau menunjukkan penolakan pada pakaian “feminin”. Remaja dan dewasa biasanya menunjukkan bahwa mereka dilahirkan dengan gender yang salah dan mengekspresikan harapan untuk intervensi medis (misalnya: penanganan hormon atau pembedahan) untuk menghilangkan karakteristik seksual mereka dan untuk meniru karakteristik dari gender lainya.
(c)   Tidak ada “kondisi interseks”, seperti anatomi seksual yang ambigu, yang mungkin membangkitkan perasaan – perasaan tersebut.
(d)   Ciri – ciri tersebut menimbulkan distres yang serius atau hendaknya pada area penting yang terkait dengan pekerjaan, sosial atau fungsi lainya.
C.    Parafilia
Kata parafilia (paraphilia) diambil dari akar bahasa yunani para, yang artinya “pada sisi lain”, dan philos artinya “mencintai”. Pada parafilia, orang menunjukkan keterangsangan seksual (mencintai) sebagai respons terhadap stimulus yang tidak biasa (“pada sisi lain” dari stimulus normal). Menurut DSM-IV, parafilia melibatkan dorongan dan fantasi seksual yang berulang dan kuat, yang bertahan selama 6 bulan atau lebih yang berpusat pada (1) objek bukan seperti manusia seperti pakaian dalam, sepatu, kulit, atau sutra, (2) perasaan merendahkan atau menyakiti diri sendiri atau pasangannya, atau (3) anak – anak dan orang lain yang tidak dapat atau tidak mampu memberikan persetujuan. Meskipun untuk menegakkan diagnosis ini tidak dibutuhkan kenyataan bahwa dorongan parafilia tersebut didemonstrasikan (orang dapat merasa distres dengan adanya dorongan tersebut tetapi tidak mendemonstrasikanya), orang dengan parfilia sering kali menampilkan perilaku terbuka seperti ekshibisionisme dan voyeurisme.
Sejumlah penderita parafilia dapat melakukan fungsi seksual tanpa kehadiran stimulus atau fantasi parafilia. Sementara yang lainya menggunakan stimulus parafilia saat berada di bawah stres/tekanan. Tetapi ada beberapa orang yang tidak dapat terangsang kecuali jika menggunakan stimulus ini, baik secara nyata atau dalam fantasi.
Bagi sejumlah individu, parafilia adalah cara eksklusif untuk mencapai kepuasan seksual. Kecuali masokisme seksual dan beberapa kasus khusus dari gangguan lain, parafilia hampir tidak pernah didiagnosis pada wanita (Sligman & Hardenburg, 2000). Bahkan pada masokisme , diperkirakan bahwa pria yang mendapatkan diagnosis ini lebih banyak daripada wanita dengan rasio 20 banding 1(APA, 2000).
Sejumlah penderita parafilia secara relatif tidak berbahaya dan tidak menyebabkan jatuh korban. Diantaraya terdapat fetishisme dan fetishisme transvestik. Sedangkan yang lain, seperti ekshibisionisme dan pedofilia, melibatkan orang lain sebagai korban. Parafilia yang paling berbahaya adalah sadisme seksual yang dilakukan dengan pasangan tanpa persetujuanya. Voyeurisme terletak di antaranya, karena “korban” tidak mengetahui kalau ia sedang di intip.

Jenis-Jenis Parafilia:
1.      Ekshibisionisme
Ekshibisionisme melibatkan dorongan kuat dan berulang untuk menunjukkan alat genital pada orang yang tak dikenal yang tidak medukungnya, dengan tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang secara seksual. Orang tersebut dapat bermasturbasi sambil membayangkan atau benar – benar menunjukkan alat genitalnya (hampir semua kasus terjadi pada pria). Sasaran/korbannya hampir selalu wanita.Orang yang didiagnosis mengidap ekshibisionisme biasanya tidak tertarik pada kontak seksual aktual dengan korban dan karena itu biasanya tidak berbahaya.

2.      Fetishisme
Kata perancis fetiche diduga berasl dari bahasa portugis feitico, yang berarti sesuatu “daya tarik ajaib”. Dalam kasus ini, “ajaib” terletak pada kemampuan objek untuk merangsang secara seksual. Ciri utama dari fetishisme adalah dorongan seksual yang kuat dan berulang serta membangkitkan fantasi yang melibatkan objek tidak hidup,seperti bagian tertentu dari pakaian (celana dalam, stoking, sepatu boot, sepatu, kulit, sutra, dan sejenisnya). Normal bagi pria untuk menyukai tampilan, rasa, dan aroma baju dalam milik kekasih mereka. Namun, pria dengan fetishisme ebih memilih objeknya daripada orang yang memilikinya dan tidak dapat terangsang tanpa objek tersebut. Mereka sering mengalami kepuasan seksual melalui masturbasi sambil membelai, menggosok – gosok, atau mencium objek tersebut atau dengan melihat pasangan mereka menggunakan itu selama melakukan aktivitas seksual.
Pada banyak kasus, munculnya fetishisme dapat dilacak dari masa kanak – kanak awal. Sebagian besar indifidu dengan fetish terdapat katet pada satu sampel penelitian mampu untuk mengingat kembali pengalaman pertama ketertarikan fetish mereka pada karet di sekitar usia 4 dan 10 tahun (Gosselin & Wilson, 1980).
3.      Transvestik Fetishisme
Ciri utama dari transvestik fetishisme adalah dorongan yang kuat dan berulang serta vantasi yang berhubungan yang melibatkan memakai pakain lawan jenis dengan tujuan untuk mendapatkan rangsangan seksual. Transvestik fetishisme di laporkan hanya terjadi pada pria heteroseksual. Sebagian besar pria dengan transvestisme sudah menikah dan terlibat dalam aktivitas seksual dengan isti mereka, tetapi mereka mencari tambahan kepuasan seksual.
4.      Voyeurisme
Ciri utama dari voyeurisme adalah bertindak berdasarkan atau mengalami distres akibat munculnya dorongan seksual yang kuat dan terus – menerus sehubungan dengan fantasi yang melibatkan melihat/memperhatikan orang, biasanya orang tidak dikenal, yang sedang tidak berpakaian atau membuka pakaian atau sedang melakukan aktivitas seksual dimana mereka tidak menduganya. Tujuan, melihat, atau “mengintip” adalah untuk mencapai kepuasan seksual. Oran yang melakukan voyeurisme biasanya tidak menginginkan aktivitas seksual dengan orang yang diobservasi.
Selama melakukan tindakan voryeuristik, orang tersebut biasanya bermasturbasi sambil melihat atau membayangkan sedang melihat/menonton. Mengintip dapat menjadi penyaluran seksual yang eksklusif. Sejumlah oerang yang melakukan tindakan voyeuristik menempatkan diri mereka pada situasi yang beresiko. Adanya kemungkinan tertangkap atau dilukai tampaknya semakin meningkatkan gairah mereka.
5.      Froterisme
Kata Prancis frottage mengacu pada teknik artistik dari membuat gambar dengan cara menggosok pada objek yang timbul. Ciri utama dari parafelia froterisme adalah adanya dorongan seksual yang kuat secara persisten dan fantasi terkait yang melibatkan menggosok atau menyentuh tubuh orang tanpa izin. Froterisme atau meremas biasanya terjadi pada tempat – tempat ramai.
6.      Pedofilia
Pedofilia (pedophilia) diambil dari bahasa yunani paidos, berarti “anak”. Ciri utama dari pedofilia adalah dorongan seksual yang kuat dan berulang serta adanya fantasi terkait yang melibatkan aktifitas seksual dengan anak – anak yang belum puber (biasanya usia 13 tahun atau lebih muda). Penganiyayaan seksual terhadap anak – anak bisa muncul dan bisa juga tidak. Untuk mendapatkan diagnosis pedofilia, orang tersebut setidaknya harus berusia 16 tahun, dan setidaknya 5 tahun lebih tua daripada anak atau anak – anak yang mereka rasakan ketertarikan secara seksual atau yang menjadi korban. Pada beberapa kasus pedofilia, seseorang hanya tertarik pada anak – anak. Pada kasus lain, prang tersebut juga tertarik pada orang dewasa.
Penyebab pedofilia kompleks dan berbvariasi. Sejumlah kasus cocok dengan stereotip orang yang lemah, pemalas, mempunyai hubungan sosial yang canggung, dan seseorang penyendiri yang merasa terancam oleh hubungan dengan orang dewasa dan berbelok pada anak – anak untuk mendapat kepuasan seksual karena anak – anak tidak banyak mengkritik dan menuntut (Ames & Houston, 1990). Pada sejumlah kasus lain, bisa jadi pengalaman seksual masa kanak – kanak dengan anak – anak lain dirasa sangat menyenangkan sehingga pria tersebut, pada saat dewasa, berkeinginan untuk merasakan kembali kegembiraan pada masa lalu. Atau mungkin pada beberapa kasus pedofiilia. Pria yang teraniyaya secara seksual oleh orang dewasa pada masa kanak – kanaknya sekarang bisa membalikan situasi sebagai usaha untuk mendapatkan perasaan berkuasa. Pria yang tindakan pedofilnya melibatkan hubungan inses dengan anak – anak mereka sendiri cenderung berdada pada salah satu titik ekstrem dari spektrum dominasi, bisa menjadi sangat dominan atau sangat pasif (Ames &  Houston, 1990).
7.      Masokisme Seksual
Masokisme seksual, berasal dari nama seorang penulis Novelis Austria, Leopold Ritter von Sacher-Masoch (1836-1895), yang menulis cerita dan novel tentang pria yang mencari kepuasan seksual dari wanita yang memberikan rasa nyerisakit pada dirinya, sering dalam bentuk dipukul atau dicambuk. Masokisme seksual melibatkan dorongan kuat yang terus menerus dan fantasi yang terkait dengan tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan, diikat, dicambuk, atau dibuat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu dapat berupa tindakan yang menyebabkan atau didasari oleh distres personal. Pada sejumlah kasus masokisme seksual, orang tersebut tidak dapat mencapai kepuasan seksual jika tidak ada rasa sakit atau malu.
Pada sejumlah kasus, masokisme seksual melibatkan situasi mengikat atau menyakiti diri sendiri pada saat masturbasi atau berfantasi seksual. Ekspresi masokisme yang paling berbahaya adalah hipoksifilia, dimana partisipan merasa terangsang secara seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya misalnya dengan menggunakan jerat, kantung plastik, bahan kimia, atau tekanan pada dada saat melakukan aktivita seksual, seperti masturbasi. Pengurangn oksigen biasanya disertai dengan fantasi sesak nafas atau dengan dibuat sesak napas oleh pasangan. Orang yang melakukan aktivitas ini biasanya menghentikannya sebelum mereka kehilangan kesadaran, tetapi terkadang kematian karena kehabisan napas juga terjadi akibat salah perhitungan (Blanchard & Hucker, 1991).
8.      Sadisme Seksual
Sadisme seksual dinamai berdasarkan nama Marquis de Sade, pria prancis pada abad ke-18 yang terkenal, yang menulis cerita tentang kenimatan mencapai kepuasan seksual dengan memberikan rasa sakit atau rasa malu pada orang lain. Sadisme seksual adalah sisi kebalikan dari masokisme seksual. Sadisme seksual melibatkan dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi terkait untuk melakukan suatu tindakan dimana seseorang dapat terangsang secara seksual dengan menyebabkan penderitaan fisik atau rasa malu pada orang lan. Orang dengan parafilia jenis ini ada yang mewujudkan fantasi mereka atau malah terganggu dengan adanya fantasi tersebut. Mereka dapat mencari pasangan yang sejalan, bisa jadi kekasih atau istri dengan kelainan masokistik, atau bisa juga pekerja seks. Akan tetai ada juga yang mengintai dan menyerang korban tanpa izin dan menjadi terangsang dengan memberikan rasa sakit atau penderitaan pada korban mereka. Pemerkosa sadistik terdapat pada kelompok terakhir ini. Namun, kebanyakan pemerkosa tidak mencari rangsangan seksual dengan menyakiti korban mereka; mereka bahkan dapat kehilangan hasrat seksual ketika melihat korban mereka kesakitan.
Banyak orang memiliki fantasi sadistik atau masokistik pada saat – saat tertentu atau melakukan permainan seks yang melibatkan simulasi atau bentuk ringan sadomasokisme dengan pasangan mereka. Sadomasokisme menggambarkan interaksi seksual yang secara mutual memuaskan yang melibatkan baik tindakan sadistik dan masokistik. Simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan sikat bulu untuk menyerang pasangan, sehingga tidak menyebabkan rasa sakit yang sebenarnya. Orang yang terlibat dalam sadomasokisme biasanya saling bertukar peran saat melakukkan aktivitas seksual atau dari satu aktivitas ke aktivitas lainya. Diagnosis klinis untuk masokisme atau sadisme seksual biasanya tidak diberikan kecuali jika orang tersebut merasa tertekan akibat perilaku atau fantasinya atau tindakanya membahayakan diri sendiri atau orang lain. Ada beberapa bentuk lain dari parafilia. Termasuk diantaranya melaukan panggilan telepon, nekrofilia (dorongn seksual atau fantasi yang melibatkan kontak seksual dengan mayat), partialisme (berfokus hanya pada satu bagian tubuh), zoofilia (dorongan seksual atau fantasi yang melibatkan kontak seksual dengan binatang), dan rangsangan seksual yang terkait dengan kotoran manusia (koprofilia), obat pencahar (klismafilia), dan urein (urofilia)
Penanganan Parafilia
Orang dengan parafilia biasanya tidak mencari penanganan atas keinginan sendiri. Mereka biasanya menerima penanganan di penjara setelah mereka divonis melakukan penyerangan seksual. Atau mereka ditunjuk ke sebuah penyedia penanganan oleh pengadilan. Dalam kondisi ini, tidak mengherankan bahwa pelaku penyerangan seksualsering kali melawan atau menolak penanganan. Terapis menyadari bahwa penanganan dapat menjadi sia – sia jika klien kurang termotivasi untuk mengubah perilaku mereka. Namun demikian, bukti menunjukkan bahwa sejumlah bentuk penanganan, terutama terapi terapi perilaku dan terapi kognitif  behavioral, dapat membantu perilaku penyerangn seksual yang ingin mengubah perilaku mereka.
Salah satu tehnik behavioral yang digunakan untuk menangani parafilia adalah aversive conditioning. Tujuan dari pandangan ini adalah membangkitkan respons emosional negatif pada stimulus atau fantasi yang tidak tepat. Dalam teknik ini, stimulus yang membangkitkan rangsangan seksual (misalnya, celana dalam) dipasangkan berulang kali dengan stimulus aversif (misalnya, kejutan listrik) dengan harapan agar stimulus tersebut juga akan menjadi stimulus asertif. Keterbatasan mendasar dari aversive conditioning adalah hal ini tidak dapat membantu individu untuk mendapatkan perilaku yang lebih adaptif sebagai ganti dari pola respons maladaptif.
D.    Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual meliputi maslah dalam minat, rangsangan, atau respon seksual. Kasus disfungsi seksual tersebar dalam masyarakat, dialami oleh 43% wanita dan 30% pria menurut survei nasional AS terbaru, (Laumann, Paik & Rosen, 1999). Gangguan ini sering kali merupakan sumber distres bagi orang yang mengalaminya dan bagi pasangan mereka. Ada beberapa tipe disfungsi seksual, tetapi semuanya cenderung memiliki sejumlah ciri yang sama. Ciri – ciri umum dari disfungsi seksual adalah sebagai berikut:
1.      Takut akan kegagalan
2.      Asumsi peran sebagai penonton dan bukan sebagai pelaku
3.      Kurangnya self esteem
4.      Efek emosional
5.      Perilaku menghindar

a.      Siklus Respons Seksual
Disfungsi seksual mempengaruhi pemulaan atau penyesuaian siklus respons seksual. Sebagian besar pemahaman kita mengenai siklus respons seksual didasarkan pada hasil kerja William Masters dan Virginia Johnson yang merupakan perintis penelitian seks. Beberapa hasil kerja mereka dan beberapa orang lainya, seperti terapis seks Helen Singer Kaplan, DSM menjabarkan siklus respons seksual dalamempat fase yang berbeda yaitu fase keinginan, fase perangsangan, fase orgasme, fase resolusi
b.      Jenis – jenis Disfungsi Seksual
DSM-IV Mengelompokkan disfungsi seksual dalam kategori berikut ini:
1.      Gangguan hasrat seksual (Sexual desire disorder)
2.      Gangguan rangsangan seksual (Sexual arousal disorder)
3.      Gangguan Orgasme (Orgasm disorder)
4.      Gangguan sakit/nyeri seksual (Sexual paint disorder)

c.       Terapi Seks
Sebelum dilakukannya penelitian yang menggemparkan oleh peneliti seks William Masters dan Virginia Jhonson pada tahun 1960-an , tidak ada penanganan yang efektif untuk sebagian besar disfungsi seksual. Bentuk terapi psikoanalisis misalnya, mengguanakan pendekatan tidak langsung terhadap disfungsi seksual. Diasumsikan bahwa disfungsi seksual mencerminkan konflik yang mendasari, dan disfungsi dapat teratasi jika konflik yang mendasari-perkiraan penyebab dari disfungsi-dipercaya melalui psikoanalisis. Kurangnya bukti yang menunjukkan bahwa pendekatan psikoanalisis dapat mengatasi disfungsi seksual menyebabkan para klinisi dan peneliti mengembangkan pendekatan lain yang lebih memfokuskan secara langsung pada masalah seksual itu sendiri.
Terapi seks kontemporer mengasumsikan bahwa disfungsi seksual dapat ditangani dengan secara langsung memodifikasi interaksi seksual pasangan dan pola – pola komunikasi. Diawali oleh Masters dan Johnson, terapi seks menggunakan beragam teknik CBT sederhana yang berpusat pada meningkatkan harapan – harapan self-efficacy, memperbaiki kemampuan pasangan untuk membantu mereka mengatasi masalah dalam hubungan yang dapat menganggu fungsi seksual. Jika memungkinkan, kedua pasangan dilibatkan dalam terapi.








BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Perilaku seksual dapat dianggap abnormal jika  bersifat self-defeating, menyimpang dari norma sosial, menyakiti orang lain, menyebabkan distres personal, atau mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi secara normal. Gangguan – gangguan yang kita lihat dalam bab ini, gangguan identitas gender, parafilia, dan disfungsi seksual mempunyai satu atau lebih dari kriteria abnormalitas.
Paraphilia adalah penyimpangan seksual yang melibatkan timbulnya rangsangan terhadap stimulus tertentu seperti objek non manusia (misalnya,sepatu atau pakaian). Penghinaan atau pemberian rasa sakit pada diri sendiri atau  pasangan, atau anak-anak.
Gangguan identitas gender itu, orang dengan gangguan identitas gender merasa bahwa anatomi gender mereka merupakan sumber distress yang terus ada dan itensif. Orang dengan gangguan ini dapat mencoba untuk mengubah organ seks mereka sehingga menyerupai lawan jenis, dan banyak yang melakukan operasi penggantian gender untuk mencapai tujuan ini.


Speech English in Ma'had about Globalization Era"

 PJ                               : Ukhty Nadzrotul Uyun
Nama                           : Yesi Putri Lestari
Fak/Jur/Smstr              : Tar/BK/IV
THE INFLUENCE OF WEST CULTURE IN THE GLOBALIZATION ERA”

السّلام عليكم ورحمةالله وبركته
الْحَمْدُلِلَّهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ. الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى اَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ. وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ.  اَمَّا بَعْدُ.
The Excellency,  Hj. Ida Firdaus, M.Pd.I
The Respectable,  Ustzh. Intan Muflihah, M.Pd.I
The Honorable,  All of Musrifah and my beloved sister’s

First of all, lets pray and thank unto aur god Allah the almighty. Who has been giving us mercies and blessing so we can attend and gather in this place without any troubles and obstacles.
            Secondly, may sholawat and salam always be given to our prophet Muhammad SAW. Who has guided us from the darkness to the brightness from jahiliyah era to the modern era namely Islam religion.
            Thirdly, in this good ocassion, I would like to deliver my speech under the title “THE INFLUENCE OF WEST CULTURE IN THE GLOBALIZATION ERA”

Globalization era is challenge for everyone to always ready compete in competitive life. Because in this era many people try to get much money and social status confession. As like the wise word says “first come first serve”. Sometimes we don’t know which one is really our friends and which one is our enemy. Friends can be enemy and enemy can be friends. They ruin each other.

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُون (الأنعام : 44)
“Than, when they forgot that where of they had been reminded, We opened unto them the gates of all things till, even as they were rejoicing in that which they were given, we seized them unawares, and lo! They were dumbfounded.

Nowadays, Indonesia is surprised by new sensation of youth’s habits. It can be known from their custom, tradition, language, appearance and their daily lifestyle. The daily lifestyle that they often call it “modern trend” we don’t know exactly their habits from their own mind or not, but several of them because of the influence of west culture which is coming to Indonesia.
The influence of west culture has almost spread all of Indonesia region. Not only to the young people who are inclined to the glamour life in the big city but also to the young people who are far from crowded in the village.
Ladies and gentlemen, talking about the influence of west culture we can divide to be two sides ; the first side positive effect. It’s related with language. We have known well that several of Indonesian students study other Indonesia language such us: Arabic, English, dutch, japan and so on. But recently, they like more using English to be second language in their daily life. It’s good, because we have known well that English is an international language which is used by many people in this world.
So, it will make easy for them to communicate with other people in the broad. And the second side is negative effect. It’s more dominant than positive effect. Maybe everyday we see it on the television; kissing between man and woman when they meet each other, the woman wear the custum showing their genitals that make the man desire, free sex, pornography, porno action and so on.
Ladies and gentlemen, we are as young generation we must able to filter which one the best one and which one worst one from west culture, so that our original culture isn’t lost from our beloved country. Don’t cheat whatever coming from west culture. Let’s keep our good morality wherever and whenever we are.

Ladies and gentlement, that’s all for this time being for me, I hope you understand my speech,thank for your nice attention and the last I say,

Wasalamu’alaikum wr.wb..

Kesimpulan Dalam Penelitian Kualitatif

KESIMPULAN DALAM PENELITIAN KUALITATIF

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif pada dasarnya sama dengan kesimpulan kuantitatif. Namun tentu saja kesimpulan penelitian kualitatif tidak memerlukan angka-angka atau pengujian statistic untuk mendasari kesimpulan tersebut. Keseimpulan penelitian kualitatif berbentuk deskripsi kualitatif, yang merupakan kristalisasi dan konsep tualisasi dari temuan lapangan. Kesimpulan bahwa orang-orang asia pada umumnya bersifat komunal dan tidak individual tidak ditarik dari suatu analisa statistik dari penelitian kuantitatif. Tapi hal ini merupakan kristalisaisi dari pengalaman dan pengamatan kualitatif dari banyak peneliti kualitatif tentang bangsa asia. Jika begitu, apakah kesimpulan penelitian kualitatif memiliki gaya generalisasi, seperti dalam penelitian kantitatif?
Dalam penelitian kuantitatif, kesimpulan penelitian adalah bersifat unik dan “individual”. Penerapan kesimpulan itu tidak berlaku untuk kasus lain. Tetapi bila banyak peneliti dilakukan orang namun masih dalam kontek yang sama meskipun di populasi dan daerah yang berbeda-beda, maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari masing-masing penelitian itu dapat menghasilkan suatu potret umum tentang sesuatu. Inilah makna “generalisasi” dalam penelitian kualitatif. Karena itu generalisasi alam penelitian kualitatif tidak diberi sifat “obyektif”, tetapi “intersubjektif” (memiliki intersubjektifitas).
Seorang peneliti budaya jawa di daerah Banyumas tidak berprentensi bahwa penemuannya akan berlaku juga di Jogya atau Pekalongan. Tetapi bila ada peneliti lain di Jogya dan Pekalongan melakukan penelitian yang mirip di masing-masing kota itu, ketiga peneliti itu mungkin akan menghasilkan suatu kesimpulan “generalisasi” yang sama tentang budaya Jawa. Mamun, seandainya pun penemuan di Banyumas sama sekali tidak perlu risau dan memaksakan diri untuk membuat kesimpulan yang sama. Sejak semula suatu penelitian kualitatif memang selalu bersifat khas dan spesifik untuk suatu hal saja.


Makalah Metodologi Penelitian "Rangkuman dan Kesimpuan"

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang dan masalah
Dalam Suatu penelitian terdapat beberapa mata rantai dalam jalinan logika  penelitian, dalam penelitian tebagi menjadi dua bagian yaitu, penelitian kualitatif dan kuantitatif, penelitian juga memiliki objek-objek yang berbeda dimana panjang tulisannya sangat tergantung dari bahan yang akan kita tulis, dalam hal tersebut untuk menyimpulkannya maka dibutuhkanlah kesimpulan agar lebih singkap dan jelas. selanjutnya yang akan dibahas pada makalah kali ini adalah mengenai Kesimpulan dalam penelitian
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian kesimpulan dan rangkuman?
2.      Apa perbedaan antara kesimpulan dan rangkuman?
3.      Apasaja metode dalam penarikan kesimpulan?
4.      Bagaimana kemungkinan kesalahan dalam penarikan kesimpulan?
5.      Bagaimana penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif ?
C.    Tujuan
Agar mahasiswa lebih mudah dalam mengetahui pengertian kesimpulan, rangkuman dan juga dapat membedakan antara kesimpulan dan rangkuman, kemudian agar dapat mengetahui metode dalam penarikan kesimpulan, kemungkinan kesalahan dalam penarikan kesimpulan dan mengetahui penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kesimpulan
Kesimpulan (Conslusion) adalah suatu pernyataan umum dan logis yang ditarik dari beberapa kasus, dan menunjukan pola yang menggambarkan ciri-ciri kasus-kasus tersebut. Kesimpulan juga dapat ditarik dengan cara sebaliknya, yaitu suatu pernyataan umum dan logis yang telah teruji kebenarannya melalui bukti-bukti.
Karena itu, kesimpulan bisa sangat salah dan menyesatkan. Dua orang yang membaca sekelompok data yang sama mungkin akan sampai ke kesimpulan yang berbeda. Hal ini dimungkinkan sebab dalam pengambilan kesimpulan seseorang dipengaruhi oleh persepsi, teori, asumsi, atau prasangka yang telah ada dibenaknya.meskipun demikian, Hakikatnya kesimpulan adalah kebenaran itu sendiri, yakni kebenaran ilmu. Kita ingat kembali, kebenaran ilmu harus diterima sebagai kebenaran sebelum dibuktikan salah. Karena itu, kesimpulan identik dengan kebenaran, yang kedunya siap diuji (bukan “dibuktikan”). Kesimpulan sebuah tesis atau sekripsi hakikatnya adalah jawaban penelitian terhadap pertanyaan penelitian yang diajukan diawal sekripsi.
B.     Rangkuman
Rangkuman (summary) adalah penjelasan singkat tentang sesuatu hal yang sebelumnya telah dijelaskan secara panjang lebar. Karena itu beda antara kesimpulan dan rangkuman adalah bahwa kesimpulan melibatkan asumsi, teori, persepsi atau prasangka, dari si pembuat kesimpulan, sedangkan rangkuman hanya memerlukan suatu keterampilan teknis untuk mengutarakan hal yang sama dalam cara dan format yang sesingkat mungkin.
Selain itu, dalam hal rangkuman,kita hanya berbicara soal “rangkuman yang lengkap”. Dan “rangkuman yang tidak lengkap”. Dalam hal kesimpulan, kita membedakan “kesimpulan yang benar” dengan “kesimpulan yang salah”. Setiap bab dalam buku dilengkapi dengan sebuah rangkuman, bukan kesimpulan.
Siswa atau peneliti pemula sering kali kesulitan membedakan antara kesimpulan dan rangkuman. Bab lima atau bab akhir dari sebuah tesis atau sekripsi adalah kesimpulan, bukan rangkuman. “Executive Summary” dari sebuah laporan adalah rangkuman, bukan kesimpulan.
C.    Metode Deduktif
Metode deduktif memiliki sejarah yang panjang dan dapat ditelusuri sampai ke jaman yunani sebelum masehi. Tetapi secara singkat, metode deduktif mensyaratkan adanya pernyataan-pernyataan tentang suatu hipotesis dan kemudian menguji hipotesis tersebut secara empiris.
Karena itu, seorang peneliti yang memformulasikan permasalahan penelitiannya dalam bentuk hipotesis, secara sadar atau tidak sadar ia telah menerapkan prinsip berfikir deduktif. Ia mulai dari kasus-kasus umum, dan kemudian menguji kebenarannya pada kasus-kasus yang lebih khusus.
Karena itu pula, kesimpulan yang mengikuti logika berpikir deduktif membawa konsekuwensi logis, bahwa kesimpulan itu berhubungan dengan penerimaan atau penolakan hipotesis yang di uji. Apa yang diuji ini secara teknis adalah hipotesis nol (Ho,null hyphotesis). Secara sederhana dikatakan bahwa penerimaan Ho berarti penolakan terhadap Ha (Hipotesis alternatif). Sebaliknya, penolakan Ho berarti penerimaan Ha.
Pada saat-saat tertentu dalam sejarah, para ahli dan filosof  ilmu sampai pernah mengatakan bahwa “hanya metode deduktiflah yang mampu menghasikan kesimpulan yang dapat dipercaya”. Bahkan suatu saat, ilmuwan tersohor Albert Einstein pernah menyatakan  (dikutip dari Suriassumantri,1981):
“Tak ada metode induktif yang mampu menuju pada konsep fundamental dari ilmu alam. Kegagalan dalam menyadari hal ini merupakan kesalahan dasar filosofis dari banyak sekali peniliti dalam abad 19. Sekarang kita sadari dengan sepenuhnya betapa salahnya para ahli teori yang berpendapat bahwa teori datang secara induktif dari pengalaman”.
Einstein barangkali memang benar dalam konteks ilmu-ilmu alam (Eksakta), terutama dalam ilmu-ilmu murni dan teoritis. Tetapi bagaimana dengan ilmu-ilmu sosial yang mempunyai realitas dan paradigma yang berbeda?
D.     Metode Induktif
               Metode induktif diperkenalkan dan pelopori oleh Francis Bacon pada permulaan abad 17. Bacon banyak mengulas dasar-dasar pemikiran yang melatarbelakangi metode induktif ini. Tetapi secara singkat dan sederhana, metode induktif adalah metode pengambilan kesimpulan yang dimulai dari pemahaman terhadap kasus-kasus khusus kedalam bentuk kesimpulan umum.
Dalam hal ini, Bacon menyatakan (dikutip dari suriasumantri, 1981) bahwa:
“jika seseorang mengumpulkan keterangan yang cukup tentang sesuatu tanpa anggapan yang sebelumnya sudah terbentuk tentang hal tersebut atau dengan perkataan lain mencoba mempertahankan objektifitas yang sempurna maka hubungan-hubungan yang terkait secara azasi akan muncul sebagai suatu kesimpulan bagi pengamat yang tekun”.

Dalam suatu penelitian, jika peneliti merumuskan permasalahan – permasalahan penelitinya dalam bentuk pertanyaan – pertanyaan terbuka, maka sadar atau tidak sadar ia tengah menggunakan metode induktif. Dalam hal ini, kesimpulan penelitiannya nanti akan ditarik dengan cara mensistensikan jawaban-jawaban dari berbagai pertanyaan penelitiannya itu.
Konsekwensi logis dari metode penyimpulan induktif ini, peneliti tidak perlu membuat hipotesis-hipotesis di dalam penelitiannya. Teori-teori, asumsi-asumsi, anggapan dasar mungkin masih diperlukan. Tetapi semua ini hanya sebagai dasar untuk membuat pertanyaan-pertanyaan yang benar, bukan untuk mengajukan suatu hipoesis.

E.     Metode Induktif-Deduktif
Ada kalanya, dan ada benarnya, seorang peneliti menggabungkan antara metode induktif dan metode deduktif. Dalam kasus seperti ini, mula-mula peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian dan menjawabnya secara induktif. Jawaban dari pertanyaan ini akan mengasilkan suatu kesimpulan.
Dari kesimpulan-kesimpulan yang ditarik secara induktif ini, kemudian peneliti mengubahnya menjadi hipotesis-hipotesis yang siap diuji kebenarannya. Ini adalah penerapan metode deduktif.

F.     Kesalahan Dalam Pengambilan Kesimpulan

Ada pepatah yang mengatakan bahwa “ Great thinkers think alike” (pemikir besar berfikir sama). Jadi, jika ada dua peneliti yang melakukan dua penelitian persis sama, kesimpulannya seharusnya sama. Tetapi, hal demikian ini tidak terjadi sesederhana itu. Kesimpulan bisa salah dan menyesatkan meskipun penelitian dilakukan sebaik-baiknya oleh peneliti.
Jika menggunakan uji hiptesis, kita mengenal dua macam kesalahan dalam hal penerimaan atau penolakan hipotesis yang kita uji. Kesalahan ini disebut kesalahan tipe I (Alpha) dan kesalahan tipe II (beta). Kesalahan tipe I jika Ho teruji benar, tetapi malah ditolak oleh peneliti. Kesalahan tipe II terjadi jika Ho tidak teruji benar, tetapi diterima oleh peneliti.
Dilihat dari sebab terjadinya kesalahan, ada beberapa kemungkinan penyebab. Pertama, peneliti membuat kesalahan dalam perumusan hipotesis yang hendak diujinya. Kesalahan ini disebabkan mungkin karena pemeliti kirang tekun mempelajari teori-teori dan asumsi-asumsi yang mendasari hipotesis penelitiannya. Karena itu, hipotesis terlalu premature diajukan, tidak didukung teori yang kuat.
Penyebab kedua mungkin berhubungan dengan metodologi penelitian. Metode yang dipilih mungkin tidak tepat. Sampel diambil secara kacau dan salah. Instrument buruk. Dan data yang terkumpul berkualitas rendah. Kalaupun data yang buruk ini dianalisis dengan baik, hasilnyapun akan tetap buruk. Akibanya, kesimpulan yang diambil akansalah dan menyesatkan.
Jika peneliti tidak menggunakan formulasi hipotesis, tetapi pertanyaan-pertanyaan peneliti, kesimpulan yang diambil pum bisa salah karena beberapa sebab. Pertama, peneliti mengajukan petanyaan-pertanyaan yang salah. Ini mungkin karena peneliti tidak memiliki cukup informasi untuk melatarbelakangi penelitiannya.
Kesalahan kedua mungkin berhubungan dengan metodologi penelitian. Pertanyaan penelitian tidak jelas variabelnya. Variable tidak jelas indikatornya. Sumber data dipilih secara sembarangan, sampel diambil secara acak-acakan, dan seterusnya.
Kesalahan ketiga mungkin berhubungan dengan faktor-faktor subyektif yang dimiliki peneliti, yang mempengaruhi proses penarikan kesimpulan. Peneliti mungkin telah mempunyai prasangka dan “harapan-harapan” tertentu dari pemelitiannya. Peneliti “terpaksa” harus berbohong karena satu dan lain hal. Peneliti mungkin juga memang secara sengaja untuk mengarahkan penelitiannya ke kesimpulan tertentu untuk satu dan lain tujuan.

G.    Kesimpulan Dalam Penelitian Kualitatif
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif pada dasarnya sama dengan kesimpulan kuantitatif. Namun tentu saja kesimpulan penelitian kualitatif tidak memerlukan angka-angka atau pengujian statistikuntuk mendasari kesimpulan tersebut. Keseimpulan penelitian kualitatif berbentuk deskripsi kualitatif, yang merupakan kristalisasi dan konsep tualisasi dari temuan lapangan. Kesimpulan bahwa orang-orang asia pada umumnya bersifat komunal dan tidak individual tidak ditarik dari suatu analisa statistik dari penelitian kuantitatif. Tapi hal ini merupakan kristalisaisi dari pengalaman dan pengamatan kualitatif dari banyak peneliti kualitatif tentang bangsa asia. Jika begitu, apakah kesimpulan penelitian kualitatif memiliki gaya generalisasi, seperti dalam penelitian kantitatif?
Dalam penelitian kuantitatif, kesimpulan penelitian adalah bersifat unik dan “individual”. Penerapan kesimpulan itu tidak berlaku untuk kasus lain. Tetapi bila banyak peneliti dilakukan orang namun masih dalam kontek yang sama meskipun di populasi dan daerah yang berbeda-beda, maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari masing-masing penelitian itu dapat menghasilkan suatu potret umum tentang sesuatu. Inilah makna “generalisasi” dalam penelitian kualitatif. Karena itu generalisasi alam penelitian kualitatif tidak diberi sifat “obyektif”, tetapi “intersubjektif” (memiliki intersubjektifitas).
Seorang peneliti budaya jawa di daerah Banyumas tidak berprentensi bahwa penemuannya akan berlaku juga di Jogya atau Pekalongan. Tetapi bila ada peneliti lain di Jogya dan Pekalongan melakukan penelitian yang mirip di masing-masing kota itu, ketiga peneliti itu mungkin akan menghasilkan suatu kesimpulan “generalisasi” yang sama tentang budaya Jawa. Mamun, seandainya pun penemuan di Banyumas sama sekali tidak perlu risau dan memaksakan diri untuk membuat kesimpulan yang sama. Sejak semula suatu penelitian kualitatif memang selalu bersifat khas dan spesifik untuk suatu hal saja.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada pembahasan makalah yang berjudul kesimpulan penelitian maka dapat disimpulkan bahwasannya, kesimpulan (conclusion) merupakan hasil penelitian kita yang secara sistematik dan ilmiah berdasarkan pada data-data yang telah kita kumpulkan sebelumnya. Sedangkan rangkuman hanyalah merupakan penyingkapan suatu hal secara singkat, yang sebelumnya hal tersebut telah dijelaskan secara luas dan rinci, karena itu kesimpulan bisa salah dan menyesatkan, tetapi rangkuman seharusnya tidak salah namun hanya kurang lengkap.
Makalah ini juga dilengkapi dengan tiga metode pengambilan kesimpulan, yaitu metode deduktif, induktif,dan metode induktif dan deduktif . ketiga metode ini sah dan lazim digunakan di berbagai penelitian sosial. Selain itu, dibahas pula kemungkinan kesalahan dalam penarikan kesimpulan.














DAFTAR PUSTAKA


Irawan, Prasetya (1999). Logika dan prosedur penelitian(pengantar teori dan panduan praktis penelitian sosial bagi mahasiswa dan peneliti pemula), jakarta. STIA-LAN press.