Kegigihan perempuan satu ini dalam menyambung hidup keluarganya patut diacungi jempol.
Syamsuni atau biasa dipanggil dengan sapaan Ibu Syamsuni ini, sudah 10 tahun menggeluti pekerjaan di bengkel. Hari-harinya tak lepas dari urusan menambal ban.
Mungkin dia bukan satu-satunya perempuan penambal ban, namun catatan panjang perjalanan hidupnya tetap saja memancing decak kagum.
Perempuan kelahiran 15 Agustus 1972 ini, adalah alumni Fakultas Ushuludin, Jurusan Dakwah tahun 1996, Universitas Islam Negeri Raden Intan atau dulu bernama IAIN.
Saat masih mengenyam pendidikan di kampus, perempuan tangguh ini menyambi sebagai pendidik. Ia sempat tercatat menjadi guru honorer di MTsN 2 Bandarlampung. Sayangnya, pengalaman itu hanya berlangsung 2 tahun saja. Setelah diwisuda dia memutuskan berhenti, dan tak berselang lama kemudian menikah. Memulai bahtera baru kehidupannya bersama lelaki idamannya. “Mungkin sudah jodoh,” ungkap Syamsuni, saat ditemui Netizenku di bengkel sederhana miliknya di sekitaran Jalan Pulau Sebesi, Sukarame, Bandarlampung, Kamis (1/3).
Saat bercerita seputar masa lalunya, mata Syamsuni tampak memerah, agaknya dia terkesan dengan kenangan perjalanan hidupnya. “Lepas dari guru honorer, saya juga pernah menjajal jadi pegawai sebuah instansi asuransi. Tapi nggak lama. Nggak betah,” ucapnya sambil menyunggingkan senyum bersahaja.
Lalu, imbuhnya, dia kembali ke ranah pendidikan. Kali ini dia menjadi pendidik untuk anak-anak usia dini. ‘Saya jadi guru lagi. Tapi guru PAUD,” tambah Syamsuni. Hanya saja, lagi-lagi dia kembali meninggalkan profesi sebagai pendidik. “Sejak saat itu saya jadi penambal ban,” kata dia dengan suara sedikit tercekat.
Dia juga menceritakan perjalanan panjangnya selama berkutat di bengkel. “Dulu tempat ini geribik, waktu suami sedang dapat rezeki, dia membangunnya jadi permanen. Terus setelah suami saya meninggal, yang melanjutkan bengkel ini keponakan,” kisahnya tentang balada bengkel sederhananya.
Praktis sejak menjadi single parent, Syamsuni harus bertanggung jawab dengan semua kebutuhan kedua anaknya. Dan biaya itu diperoleh dari bagi hasil dengan keponakannya dari pendapatan bengkel.
Tapi ritme ini hanya sejenak, sebab bengkelnya sempat ditutup lantaran keponakannya membuka bengkel sendiri di tempat lain. Tapi kehidupan keluarganya harus terus berlangsung. Sementara untuk mencari pekerjaan lain, dirinya terbentur faktor usia yang sudah tidak muda lagi.
“Bermodal nekat dan dan tekad, hasil belajar dari pengalaman saat melihat almarhum suami dan ponakan menambal ban, akhirnya saya putuskan untuk membuka bengkel lagi dan saya jadi penambal bannya,” ungkap Syamsuni bersemangat, sambil menambahkan, dari hasil bengkelnya itulah kehidupan keluarga dan urusan sekolah anak-anaknya bisa dilanjutkan.
“Alhamdulillah masih ada rezeki yang diberi Allah lewat ban-ban bocor itu,” tandasnya seraya tersenyum. (Yesi Putri Lestari)
Syamsuni atau biasa dipanggil dengan sapaan Ibu Syamsuni ini, sudah 10 tahun menggeluti pekerjaan di bengkel. Hari-harinya tak lepas dari urusan menambal ban.
Mungkin dia bukan satu-satunya perempuan penambal ban, namun catatan panjang perjalanan hidupnya tetap saja memancing decak kagum.
Perempuan kelahiran 15 Agustus 1972 ini, adalah alumni Fakultas Ushuludin, Jurusan Dakwah tahun 1996, Universitas Islam Negeri Raden Intan atau dulu bernama IAIN.
Saat masih mengenyam pendidikan di kampus, perempuan tangguh ini menyambi sebagai pendidik. Ia sempat tercatat menjadi guru honorer di MTsN 2 Bandarlampung. Sayangnya, pengalaman itu hanya berlangsung 2 tahun saja. Setelah diwisuda dia memutuskan berhenti, dan tak berselang lama kemudian menikah. Memulai bahtera baru kehidupannya bersama lelaki idamannya. “Mungkin sudah jodoh,” ungkap Syamsuni, saat ditemui Netizenku di bengkel sederhana miliknya di sekitaran Jalan Pulau Sebesi, Sukarame, Bandarlampung, Kamis (1/3).
Saat bercerita seputar masa lalunya, mata Syamsuni tampak memerah, agaknya dia terkesan dengan kenangan perjalanan hidupnya. “Lepas dari guru honorer, saya juga pernah menjajal jadi pegawai sebuah instansi asuransi. Tapi nggak lama. Nggak betah,” ucapnya sambil menyunggingkan senyum bersahaja.
Lalu, imbuhnya, dia kembali ke ranah pendidikan. Kali ini dia menjadi pendidik untuk anak-anak usia dini. ‘Saya jadi guru lagi. Tapi guru PAUD,” tambah Syamsuni. Hanya saja, lagi-lagi dia kembali meninggalkan profesi sebagai pendidik. “Sejak saat itu saya jadi penambal ban,” kata dia dengan suara sedikit tercekat.
Dia juga menceritakan perjalanan panjangnya selama berkutat di bengkel. “Dulu tempat ini geribik, waktu suami sedang dapat rezeki, dia membangunnya jadi permanen. Terus setelah suami saya meninggal, yang melanjutkan bengkel ini keponakan,” kisahnya tentang balada bengkel sederhananya.
Praktis sejak menjadi single parent, Syamsuni harus bertanggung jawab dengan semua kebutuhan kedua anaknya. Dan biaya itu diperoleh dari bagi hasil dengan keponakannya dari pendapatan bengkel.
Tapi ritme ini hanya sejenak, sebab bengkelnya sempat ditutup lantaran keponakannya membuka bengkel sendiri di tempat lain. Tapi kehidupan keluarganya harus terus berlangsung. Sementara untuk mencari pekerjaan lain, dirinya terbentur faktor usia yang sudah tidak muda lagi.
“Bermodal nekat dan dan tekad, hasil belajar dari pengalaman saat melihat almarhum suami dan ponakan menambal ban, akhirnya saya putuskan untuk membuka bengkel lagi dan saya jadi penambal bannya,” ungkap Syamsuni bersemangat, sambil menambahkan, dari hasil bengkelnya itulah kehidupan keluarga dan urusan sekolah anak-anaknya bisa dilanjutkan.
“Alhamdulillah masih ada rezeki yang diberi Allah lewat ban-ban bocor itu,” tandasnya seraya tersenyum. (Yesi Putri Lestari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar