PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan memang sangat berpengaruh bagi ilmu
pengetahuan, meskipun tidak semua ilmuwan mengatakan hal tersebut. Seperti
halnya pemikir Barat tradisional yang berpendapat dan beranggapan bahwa isi
ilmu pengetahuan bebas dari determinasi budaya. Mereka berpendapat segala hal
yang berhubungan dengan ide-ide ilmu pengetahuan itu muncul sesuai logika
mereka. Pandangan ini biasanya desebut dengan Internalis Ilmiah. Hal tersebut
berbanding terbalik dengan para pemikir Barat modern, mereka beranggapan bahwa
ide-ide ilmu pengetahuan dibentuk oleh pengaruh budaya eksternal. Mereka
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak muncul secara objektif melainkan secara
subjektif dan relatif.
Darwin
berpendapat Ilmu pengetahuan adalah suatu perjuangan untuk tetap hidup, yang
mencakup persaingan yang ekstrem. Pertahanan hidup dalam persaingan tidak akan
teraih oleh mereka yang malu atau lemah. Pertahanan hidup akan dimenangkan oleh
mereka yang kuat menghadapi konflik dan berkompetisi dengan orang lain. Untuk
bertahan, seseorang harus dapat menciptakan pendukung. Pendukung ini harus
sistematis, teratur dan matang. Ilmu pengetahuan diciptakan oleh mereka yang
berhasil menjadi pemenang dan meraih pertahanan hidup, serta bermaksud
mempertahankan kemenangannya. Seperti halnya guru, guru memang menempati kedudukan yang terhormat di
masyarakat. Guru dapat dihormati oleh masyarakat karena kewibawaannya, sehingga
masayarakat tidak meragukan figur guru. Masyarakat percaya bahwa dengan adanya
guru, maka dapat mendidik dan membentuk kepribadian anak didik mereka
dengan baik agar mempunyai intelektualitas yang tinggi serta jiwa kepemimpinan
yang bertanggung jawab.
Jadi dalam pengertian yang sederhana, guru dapat diartikan sebagai orang yang
memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Sedangkan guru dalam pandangan
masyarakat itu sendiri adalah orang yang melaksanakan pendidikan
ditempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan yang formal saja
tetapi juga dapat dilaksanakan dilembaga pendidikan non-formal seperti di
masjid, di surau/mushola, di rumah dan sebagainya.
Seorang
guru mempunyai kepribadian yang khas. Disatu pihak guru harus ramah, sabar,
menunjukkan pengertian, memberikan kepercayaan dan menciptakan suasana aman.
Akan tetapi di lain pihak, guru harus memberikan tugas,mendorong siswa untuk
mencapai tujuan, menegur, menilai, dan mengadakan koreksi. Dengan demikian,
kepribadian seorang guru seolah-olah terbagi menjadi 2 bagian. Di satu pihak
bersifat empati, di pihak lain bersifat kritis. Di satu pihak menerima, di lain
pihak menolak. Maka seorang guru yang tidak bisa memerankan pribadinya sebagai
guru, ia akan berpihak kepada salah satu pribadi saja. Hubungan antara guru dan
murid mempunyai sifat yang relatif stabil. Ciri khas dari hubungan ini ialah
status yang tak sama antara guru dan murid. Dalam hubungan guru-murid biasanya
hanya murid yang diharapkan mengalami perubahan kelakuan sebagai hasil belajar.
Perubahan kelakuan yang diharapkan pada murid mengenai hal-hal tertentu yang lebih
spesifik, misalnya agar anak menguasai bahan pelajaran tertentu. guru dalam
hubungannya dengan murid bermacam-macam tergantung interaksi sosial yang
dihadapinya. Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan mengajar
anak dalam kelas guru harus sanggup menunjukkan kewibawaan atau otoritasnya,
artinya ia harus mampu mengendalikan, mengatur, dan mengontrol kelakuan anak.
Dalam situasi informal guru dapat mengendorkan hubungan formal dan jarak
sosial, misalnya sewaktu rekreasi, berolahraga, berpiknik atau kegiatan lainnyaDan
berdasarkan hal-hal tersebut, seorang guru harus bisa memilah serta memilih
kapan saatnya berempati kepada siswa, kapan saatnya kritis, kapan saatnya
menerima dan kapan saatnya menolak. Dengan perkatan lain, seorang guru harus
mampu berperan ganda. Peran ganda ini dapat di wujudkan secara berlainan sesuai
dengan situasi dan kondisi yang di hadapi.
Tugas
guru sebagai suatu profesi, menuntut kepada guru untuk mengembangkan
profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu
profesi. Tugas guru sebagai pendidik, meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai
hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru
sebagai pelatih berarti mengembangkan ketrampilan dan menerapakannya dalam
kehidupan demi masa depan anak didik. Guru juga mempunyai kemampuan, keahlian
atau sering disebut dengan kompetinsi profesional. Kompetensi profesional yang
dimaksud tersebut adalah kemampuan guru untuk menguasai masalah akademik yang
sangat berkaitan dengan pelaksanaan proses belajar mengajar, sehingga
kompetensi ini mutlak dimiliki guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik
dan pengajar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh kebudayaan bagi
ilmu pengetahuan?
2.
Bagaimana pandangan evolusinisme tentang ilmu pengetahuan?
3. Apa pengertian guru?
4. Apakah guru
sebagai kedudukan terhormat?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Dapat menjelaskan pengaruh kebudayaan
bagi ilmu pengetahuan.
2. Dapat menjelaskan pandangan
evolusinisme tentang ilmu pengetahuan.
3. Dapat menjelaskan pengertian guru.
4. Dapat mendeskripsikan guru sebagai kedudukan terhormat.
PEMBAHASAN
A.
Pengaruh Kebudayaan Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebuah pernyataan besar muncul ke
permukaan, yaitu apakah ilmu pengetahuan sebagai ide – ide khusus yang
dikemukakan para ilmuan ditentukan oleh kondisi – kondisi budaya?
Para pemikir Barat tradisional
berpandangan bahwa isi ilmu pengetahuan bebas dari determinasi budaya.
Rata-rata para sarjana Barat berpendapat bahwa ide-ide ilmu pengetahuan muncul
sesuai dengan logika internal mereka, tanpa pengaruh budaya. Pandangan ini
dikenal dengan sebutan internalis ilmiah.
Kebanyakan antropolog menganut
pandangan internalis ilmiah (Sanderson, 2003). Salah seorang antropolog
terkemuka yang benar-benar yakin mendukung pandangan internalis ilmiah adalah
joseph ben-david (1971). Dia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan produk
intelektual, bukan produk budaya.
Sebagian
pemikir barat modern berpandangan bahwa ide-ide ilmu pengetahuan dibentuk oleh
pengaruh budaya eksternal. Mereka menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak
muncul secara objektif, tetapi muncul secara subjektif dan relatif. Pandangan
ini dikenal dengan sebutan eksternalis ilmiah. Ilmu pengatahuan ditentukan
secara budaya, bukan secara intelektual (mulkay, 1979).
Teori-teori
ilmiah muncul berdasarkan pertimbangan-pertimbangan budaya. Pernyataan ini
dapat dilihat dalam tulisan-tulisan Theodore Brown (1970). Brown menjelaskan
sebuah pendekatan mekanistik mengenai kehidupan sejumlah dokter dan filsuf alam
inggris pada abad ke-17. Dia menegaskan bahwa motifasi para dokter dan filsuf
dalam menerima mekanisme ilmiah pada dasarnya bersifat politis, tidak bersifat
intelektual. Sebab, mereka terasosiasi dalam suatu organisasi, yaitu The Royal
College of Physicians, yang prestisius dan memonopoli dalam berbagai pandangan
kemedisan dan filsafat. Karena kepentingan politis, seluruh pandangan mereka
tidak berdiri sendiri, tetapi sudah sangat subjektif, sesuai dengan kepentingan
prestisius dan monopoli mereka. Pandangan-pandangan mereka lebih berupa sebuah
pertahanan dari serangan-serangan para pesaingnya.
Sebuah
pandangan yang lebih ekstrem dari pandangan brown dikemukakan oleh Harry
Collins. Dia membuat sebuah kelompok yang gemar menyuarakan konsep relativisme.
Collins sangat yakin bahwa seluruh analisis empiris para ilmuan merupakan hasil
negosiasi budaya. Kekuasaan, sumber daya dan kepentinga lain mereka berpengaruh sekali terhadap teori-teori dan
rumusan-rumusan ilmiah mereka.
Collins
dan rekan-rekannya melakukan sejumlah studi melalui wawancara dengan para
ilmuwan yang berbeda, seperti dokter da psykolog. Mereka ditanya tentang cara
mencapai kosensus teoritis. Collins menemukan bahwa mereka saling
mendiskreditkan teori-teori mereka, ketika tidak terjadi kesepakatan temuan
empiris diantara mereka. Collins sangat yakin bahwa kepentingan prestise mereka
sangat kuat.
Tidak diragukan lagi bahwa para
ilmuwan, seperti pelaku-pelaku sosial lainnya, dipengaruhi oleh berbagai
pertimbangan kekuasaan, prestise, dan monopoli. Sehubungan dengan itu, ilmu
pengetahuan adalah sebuah proses sosial dan para ilmuwannya dimotivasi untuk
memenuhi kepentingan sosial mereka. Akan tetapi, hal tersebut bukan satu-satunya
faktor yang relevan dengan ide-ide ilmiah para ilmuwan.
Larry
laudan (1982) lebih berpandangan positif terhadap para ilmuwan. Menyebutkan
bahwa salah satu kepentingan yang mendasar bagi para ilmuwan adalah kepentingan
penalaran (cognitive). Mereka mempunyai kepentingan mendesak dalam memproduksi
teori – teori yang baik. Buktinya, meskipun para ilmuwan sering berkontroversi
dalam interpretasi ilmiah, mereka sering mencapai tingkat konsensus teoretis
yang tinggi dan mampu menyelesaikan kontroversi itu dengan cara yang sulit
dilakukan oleh orang-orang yang bukan ilmuwan.
Secara
umum, sebagaimana dikatakan olen brown dan Collins, faktor-faktor budaya
memainkan peranan dalam pembentukan isi ide ilmiah sehingga ide ilmiah tidak
bersifat independen dan muncul secara “sembarangan”. Kita mengambil salah satu
contoh ide ilmiah yang tidak lepas dari pengaruh faktor budaya yang kuat, yaitu
teori evolusi dari Darwin.
Masyarakat awam menyepakati bahwa
Darwin berhasil menemukan ide besar itu setelah ia mengumpulkan observasi
terperinci atas tumbuh-tumbuhan dan kehidupan hewan. Ia memerhatikan dengan
cermat kegiatan-kegiatan peternak, membaca karya-karya intelektual hebat karya
ahli geologi, Charles Lyell, dan seorang filsuf kenamaan, Thomas Robert
Malthus.
Akan tetapi, apabila kita melihat sifat
lingkungan sosial yang didiami oleh Darwin adalah lingkungan kapitalisme
industri, tampak bahwa kehidupan sosial dan ekonomi pada waktu itu sangat
suram, sekurang-kurangnya bagi mayoritas penduduk yang berjuang untuk hidup
dengan jalan bekerja di bengkel-bengkel industri, kehidupan saat itu tampak
sebagai perjuangan yang sangat dahsyat. Untuk tetap hidup, setiap individu
harus memeras keringat. Banyak diantara mereka yang tidak berhasil.
Ide-ide Darwin dikondisikan oleh sifat
umum masyarakat pada masa ia hidup. Ide evolusi melalui seleksi alam Darwin
muncul saat kondisi sosial memang seperti itu. Alfred Rusell Wallace, seorang
pemikir Inggris angkatan Darwin mengembangkan ide yang sama pada waktu Darwin
mengemukakan konsepnya.
Fungsionalisme adalah pendekatan
antropologis tingkat makro yang dominan sejak tahun 1945 sampai 1965.
Pendekatan fungsionalisme merupakan strategi yang cocok dengan waktu itu. Pada
waktu itu terdapat ketenangan politik dan kepuasan dalam kehidupan masyarakat Amerika.
Pada sisi politik, pendekatan
fungsionalisme dituduh sebagai pendekatan konservatif dalam studi kehidupan
sosial. Pendekatan konflik didasarkan pada rumusan-rumusan marxian.
Perubahan dominasi pendekatan
fungsionalisme oleh pendekatan konflik merupakan produk perubahan besar yang
terjadi dalam kehidupan sosial Amerika pada tahun 1960-an. Tahun tersebut
merupakan masa pemberontakan politik dan budaya di Amerika.
Gejala-gejala sosial tersebut tidak
bisa dijelaskan secara memadai oleh analisis fungsionalis. Akibatnya, pamor
fungsionalisme semakin rontok. Dan pamor pendekatan konflik meningkat tajam.
B.
Pandangan Evolusinisme Darwin tentang Ilmu Pengetahuan
Sebuah penjelasan yang berhaluan
evolusionisme Darwin terdapat dalam buku science as a process: an Evolutionary
Account of the social an conceptual Development of science (1988), tulisan
David Hull. Berikut ini merupakan intisari pernyataan Hull tersebut ditambah
beberapa sisipan dari penulis.
Ilmu
pengetahuan adalah suatu perjuangan untuk tetap hidup, yang mencakup persaingan
yang ekstrem. Pertahanan hidup dalam persaingan tidak akan teraih oleh mereka
yang malu atau lemah. Pertahanan hidup akan dimenangkan oleh mereka yang kuat
menghadapi konflik dan berkompetisi dengan orang lain. Untuk bertahan, seseorang
harus dapat menciptakan pendukung. Pendukung ini harus sistematis, teratur dan
matang. Ilmu pengetahuan diciptakan oleh mereka yang berhasil menjadi pemenang
dan meraih pertahanan hidup, serta bermaksud mempertahankan kemenangannya.
Pengetahuan
yang diterangkan oleh para ilmuwan bukan merupakan bagian dari etos
pengetahuan. Kerendahan hati atau egalitarianisme tidak pernah menjadi karakter
kaum ilmuwan. Mereka selalu memosisikan diri pada posisi luhur, terhormat, dan
elitis dengan simbol tertentu yang disakralkan. Kita melihat profesor
mengenakan jubah kebesarannya, seorang ahli kimia menggunakan busana khusus,
padahal tanpa busana seperti itu pun, hal ikhwal kimia bisa dijelaskan. Kita
juga melihat seorang ahli medis menggunakan busana tertentu. Padahal, tanpa
busana yang mereka biasa gunakan pun, jarum suntik bisa ditusukkan ke tubuh
pasien. Begitupun dengan pekerjaan-pekerjaan lain yang menggunakan seragam.
Masih
dalam science as a process, Hull mengemukakan bukti yang terperinci mengenai
perilaku yang kotor dan agresif para ilmuwan sebagai gejala umum. Kerja sama
dan persaingan adalah mutlak bagi ilmu pengetahuan. Kalaupun ada persaingan
antara yang satu dengan yang lainnya, hal tersebut hanya untuk kepentingan
dirinya sendiri. Mereka akan mengutip karya-karya orang lain yang isi
didalamnya mendukung argumennya.
Hull memandang perilaku ilmuwan tersebut sebagai upaya untuk mempertahankan
posisi dan dominasi. Kerja sama ilmiah yang tampak ke permukaan sebagai usaha
untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya, hal tersebut hanyalah
trik-trik untuk kepentingan dirinya sendiri.mereka menyamarkan kepentingan
tersebut melalui baju ilmu pengetahuan.
Lebih jauh dari itu, jika para ilmuwan
bekerjasama dengan teman konseptualnya pada dasarnya mereka sedang mengusahakan
strategi tempur melawan para ilmuwan
yang konsepnya tidak sama dengan mereka. Mereka memastikan bahwa
penentang konsep mereka harus dikalahkan. Untuk tujuan ini diperlukan strategi
yang sangat kuat melalui kerja sama konseptual.
Upaya-upaya konseptual yang dilakukan
oleh sekelompok ilmuwan untuk mengalahkan para penentangnya ternyata sangat
penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Lahirlah sejumlah ide dan konsep ilmu pengetahuan yang beragam. Dunia
pengetahuan semakin berwarna dan semarak oleh perdebatan dan konflik para
ilmuwan.
Pertemuan yang runcing dan kadang
berkepanjangan dikalangan ilmuwan melahirkan konsep-konsep dan teori-teori yang
lebih baik. Secara perlahan, teori-teori yang lebih baik akan mengalahkan
konsep dan teori yang lebih buruk, pertempuran ini menjadi seperti seleksi alam
yang terjadi dan berjalan di dunia ilmu pengetahuan.
Penjelasan provokatif David Hull menjadi perdebatan diantara kaum
eksternalis dan internalis. Bagi kaum
internalis, penjelasan Hull adalah sebuah
narasi jahat yang menuding pengetahuan sebagai produk manusia-manusia
durjana yang ambisius. Adapun bagi kaum eksternalis, penjelasan Hull adalah
“Wahyu” ajaib yang benar-benar mendukung keyakinan mereka.
Sebuah penjelasan Hull yang tidak kalah
provokatif adalah pernyataannya bahwa bila
bukan karna hal yang diatas, para ilmuwan mempunyai kepentingan karier yang
kuat. Tidak terlalu penting untuk menyatakan bahwa para ilmuwan mengembangkan
sebuah teori karna ambisi-ambisi mereka. Sebab pada akhirnya, semua ide atau
teori, dari mana dan dari siapa datangnya, akan mengalami ujian kelayakan juga.
Artinya, proses seleksi alam pasti akan dialaminya.
C.
Pengertian Guru
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 :337), guru
adalah manusia
yang tugasnya (profesinya) mengajar. Adapun menurut Vembrianto
(1994: 21) dalam kamus pendidikan, guru adalah pendidik profesional disekolah
dengan tugas utama mengajar. Pada sisi lain, guru diidentikkan dengan istilah
pendidik karna makna pendidik sebagai usaha untuk membimbing, mengerahkan
mentransfer ilmu dapat dilakukan secara umum.
Secara
linguistik, istilah yang bermakna guru terdapat diseluruh bahasa dunia. Dalam
bahasa Inggris, umpamanya, dikenal dengan istilah teacher yang padanan bahasa
indonesianya adalah guru. Teacher memiliki arti : A person whose occupation is
teaching others, yaitu seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain (Syah,
2003: 222). Adapun dalam bahasa arab
untuk penyebutan guru dikenal istilah – salah satunya – mu’alim, yaitu orang
yang menjadikan orang lain berilmu atau orang yang menyampaikan suatu informasi
kepada orang lain (Baalbaki, 1997 : 1073)
Guru
dalam bahasa jawa adalah menunjuk pada seorang yang harus digugu dan ditiru oleh
semua murid dan bahkan masyarakat. Harus digugu artinya segala sesuatu yang
disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan diyakkini sebagai kebenaran oleh
semua murid. Sedangkan ditiru artinya seorang guru harus menjadi suri tauladan (panutan) bagi
semua muridnya.
Secara
tradisional guru adalah seorang yang berdiri didepan kelas untuk menyampaikan
ilmu pengetahuan.
Adapun pengertian yang
lain tentang guru adalah seorang administrator, informator, konduktor dan
sebagainya, dan harus berkelakuan menurut harapan mesyarakatnya, Dari guru,
sebagai pendidik dan pembangun generasi baru diharapkan tingkah laku yang
bermoral tinggi demi masa depan negara dan bangsa.
Secara keprofesian formal, guru adalah sebuah jabatan
akademik yang memiliki tugas sebagai pendidik. Pendidik merupakan tenaga
profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat (Undang-Undang sisdiknas No. 20 tahun 2003, Bab XI pasal 39
Ayat 2). Guru sebagai seorang tenaga kependidikan yang profesional berbeda
pekerjaannya dengan profesi lain. Karena ia merupakan suatu profesi, maka
dibutuhkan kemampuan daan keahlian khusus dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya (Rusyan, 1990: 5).
Istilah lain yang masih berkenaan dengan guru dan
berkembang di masyarakat adalah pendidik. Istilah ini menjadi fokus dari
berbagai kalangan dalam dunia pendidikan karena pendidik menggunakan istilah
yang sangat luas dan konfrehensif, sehingga lebih menggeneralisasikan makna pendidik dalam konteks luas. Istilah pendidik
ini dapat dilihat dari pendapat fadhil Al-Djamali yang dikutip oleh ramayulis
(2002: 85-86) bahwa pendidik adalah orang yang mengerahkan manusia pada
kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan
kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia. Lebih jauh, Ramayulis melihat
konsep pendidik pada tatanan pendidikan islam, bahwa pendidik dalam konteks ini
adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab
atas pendidikan dirinya dan orang lain.
Secara istilah, pendidik adalah orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan
pengembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif,
maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam (Ahmad Tafsir,
2002:41)
Menurut Noor Jamaluddin (1978: 1) Guru adalah
pendidik, yaitu orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau
bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar
mencapai kedewasaannya, mampu berdiri sendiri dapat melaksanakan tugasnya
sebagai makhluk Allah khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan
individu yang sanggup berdiri sendiri.
Secara umum menurut Ahmad D. Marimba, pendidik adalah
orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa
yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan si
terdidik (Ahmad D.Marimba. 1980:37)
Menurut Peraturan
Pemerintah Guru adalah jabatan fungsional, yaitu kedudukan yang menunjukkan
tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam suatu organisasi
yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan keahlian atau keterampilan tertentu
serta bersifat mandiri.
Menurut Keputusan
Men.Pan Guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang
diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk
melaksanakan pendidikan di sekolah.
Undang-undang
tentang Guru dan Dosen No. 14 tahun
2005 Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.
Guru juga dapat dikatakan sebagai pendidik dan
pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan berbagai
macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar dan
mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal, hanya saja ruang lingkupnya guru
berbeda, guru mendidik
dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta.
Dengan demikian, pendapat bahwa pendapat bahwa pendidik
bukan hanya guru memang tak bisa disangkal. Orangtua adalah pendidik utama bagi
anak-anaknya. Para pemimpin dapat menjadi pendidik bagi orang – orang yang
dipimpinnya, bahkan seorang teman sebayapun bisa menjadi seorang pendidik bagi
teman sebayanya. Jadi, siapapun yang melibatkan diri dan memberikan peranan dalam
memberikan bimbingan, pengajaran atau pelatihan terhadap orang lain bisa
disebut sebagai guru.
Guru dalam bahasa sanskerta, yang arti harfiahnya adalah
“berat”. Dalam bahasa indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai dan mengevaluasi peserta didik (www.wikipedia.com. 27 Februari 2008)
Dalam pengertian formal, guru adalah pendidik dan
pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidika formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
Dalam agama Hindu, guru merupakan simbol bagi suatu
tempat suci yang berisi ilmu (vidya) dan pembagi ilmu. Seorang guru adalah
pemandu spiritual/kejiwaan murid-muridnya. Dalam agama budha guru adalah orang
yang memandu muridnya dalam jalan menuju kebenaran.
Sementara itu, guru dalam terminologi umum bagi orang
karo adalah tabib. Beberapa orang karo lainnya menyinonimkan kata guru dengan
kata dukun. Guru ini sangat berperan dalam ritual-ritual keagamaan atau
upacara-upacara tradisional.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang sifat-sifat yang
harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain sebagai berikut:
1.
Menurut purwanto (1998:140-148), syarat-syarat guru
adalah berijazah, sehat jasmani dan rohani, Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menyukai murid-muridnya, sabar dan rela berkorban, memiliki kewibawaan terhadap
anak-anak, penggembira, bersikap baik terhadapmasyarakat, benar-benar menguasai
mata pelajarannya, menyukai mata pelajaran yang diberikan dan berpengetahuan
luas.
2.
Menurut An-Nahlawi (1989: 239-246), tujuan, tingkah laku
dan pola pikir guru bersifat rabbani, ikhlas, bersabar, jujur, membekali diri
dengan ilmu, mampu menggunakan metode mengajar, mampu mengelola siswa,
mempelajari kehidupan psikis para siswa, tanggap terhadap berbagai persoalan,
dan bersikap adil.
3.
Dalam pandangan Al-Abrasyi (1988: 20-25), sifat-sifat
guru yang Islami, antara lain zuhud, bersih jiwa dan raga, tidak ria, tidak
pendendam, tidak menyenangi permusuhan, tidak malu mengakui ketidaktahuan,
tegas dalam perkataan dan perbuatan, bijaksana, ikhlas, rendah hati, lemah
lembut, pemaaf, sabar, berkepribadian, tidak merasa rendah diri, dan mengetahui
karakter murid.
4.
Menurut Mahmud Yunus, seperti yang dikutip Tafsir
(1992:82), sifat-sifat guru antara lain kasih sayang kepada murid, bijak dalam
memilih bahan pelajaran, melarang murid melakukan hal yang tidak baik,
memberikan peringatan, memberikan nasihat, menghargai pelajaran lain yang bukan
pegangannya, bijak dalam memilih bahan pelajaran yang sesuai dengan taraf
kecerdasan anak didik, mementingkan berfikir dan berijtihad, jujur dalam
keilmuan, dan adil.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
sifat-sifat guru pada dasarnya berkaitan dengan sifat kognitif, afektif dan
psikomotornya.
Suyanto dan Hisyam (2000) mengutip tiga jenis kompetensi
guru yang dikemukakan Raka joni yaitu:
1.
Kompetensi profesional. Dalam hal ini guru memiliki pengetahuan
yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai
metode mengajar didalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
2.
Kompetensi kemasyarakatan, yaitu guru mampu berkomunikasi
baik dengan siswa sesama guru maupun masyarakat luas.
3.
Kompetensi personal, yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan
demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan
peran ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Selanjutnya menurut Muhibbin Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan
kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Kompetensi guru juga
dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
ditampilkan dalam bentuk perilaku cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki
seorang guru dalam menjalankan profesinya . Menurut
Mulyasa kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal,
keilmuan, sosial, spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar
profesi guru yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap
peserta didik, pemahaman tentang
lingkungan pendidikan, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme.
Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan
sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya.
Guru yang kompeten dan profesional adalah guru piawai dalam melaksanakan
profesinya. Berdasarkan uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan
sebagai penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam menjalankan profesi
sebagai guru.
Guru
sebagai agen pembelajaran diharapkan memiliki empat jenis
kompetensi guru. Empat kompetensi tersebut yakni kompetensi pedagogik, sosial,
kepribadian, dan kompetensi profesional.
Sebelum membahas tentang kompetensi sosial dan kepribadian, penulis
uraikan secara singkat tentang kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional.
Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat (1) menyatakan “Kompetensi
guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi”
Bahwa guru yang profesional itu memiliki
empat kompetensi atau standar kemampuan yang meliputi kompetensi Kepribadian,
Pedagogik, Profesional, dan Sosial. Kompetensi guru adalah kebulatan
pengetahuan , keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh
tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran.
Sebagai agen pembelajaran maka guru dituntut untuk kreatif dalam mnenyiapkan
metode dan strategi yang cocok untuk kondisi anak didiknya, memilih dan
menetukan sebuah metode pembelajaran yang sesuai dengan indikator
pembahasan. Dengan sertifikasi dan predikat guru profesional yang
disandangnya, maka guru harus introspeksi diri apakah saya sudah mengajar
sesuai dengan cara-cara seorang guru profesional. Sebab disadari atau
tidak banyak diantara kita para pendidik belum bisa menjadi guru yang
profesional sebagai mana yang diharapkan dengan adanya sertifikasi guru sampai
saat ini.
1. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi Kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan
bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Sub kompetensi dalam kompetensi
kepribadian meliputi :
a. Kepribadian yang mantap dan stabil meliputi bertindak sesuai dengan
norma sosial, bangga menjadi guru, dan memiliki konsistensi dalam bertindak
sesuai dengan norma.
b. Kepribadian yang dewasa yaitu menampilkan
kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai
guru.
c. Kepribadian yang arif adalah menampilkan
tindakan yang didasarkan pada kemamfaatan peserta didik, sekolah dan masyarakat
dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
d. Kepribadian yang berwibawa meliputi memiliki
perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta
didik dan memiliki perilaku yang disegani.
e. Berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan
meliputi bertindak sesuai dengan norma religius (imtaq,
jujur, ikhlas, suka menolong) dan memiliki perilaku yang diteladani peserta
didik.
2. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi Pedagogik adalah Kemampuan pemahaman terhadap peserta
didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya. Sub kompetensi dalam kompetensi Pedagogik adalah :
a. Memahami peserta didik secara mendalam yang
meliputi memahami peserta didik dengan memamfaatkan prinsip-prinsip
perkembangan kognitif, prinsip-prinsip kepribadian, dan mengidentifikasi bekal
ajar awal peserta didik.
b. Merancang pembelajaran,teermasuk memahami
landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran yang meliputi memahmi
landasan pendidikan, menerapkan teori belajar dan pembelajaran, menentukan
strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang
ingin dicapai, dan materi ajar, serta menyusun rancangan pembelajaran
berdasarkan strategi yang dipilih.
c. Melaksanakan pembelajaran yang meliputi menata
latar ( setting) pembelajaran dan melaksanakan pembelajaran yang
kondusif.
d. Merancang dan melaksanakan evaluasi
pembelajaran yang meliputi merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment)
proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode,menganalisis hasil evaluasi
proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery
level), dan memamfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan
kualitas program pembelajaran secara umum.
e. Mengembangkan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensinya meliputi memfasilitasi peserta
didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik, dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai
potensi non akademik.
3. Kompetensi
Profesional
Kompetensi profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas
dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan
yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi
keilmuannya. Sub kompetensi dalam kompetensi Profesional adalah :
a. Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi yang
meliputi memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, memahami
struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan materi
ajar, memahami hubungan konsep antar mata pelajaran terkait, dan menerapkan
konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Menguasai struktur dan metode keilmuan yang
meliputi menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam
pengetahuan dan materi bidang studi.
4. Kompetensi Sosial
Kompetensi Sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
bergaul secara efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang
tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Berkomunikasi dan bergaul
secara efektif dapat diartikan sebagai cara guru untuk memahami watak atau
sifat murid baik di lingkungan pendidikan maupun diluar lingkungan pendidikan.
Berkomunikasi efektif tidak hanya dengan peserta didik saja melainkan dengan
sesama tenaga kependidikan dan masyarakat, selain untuk menjalin silaturahmi
juga dapat bertukar fikiran, segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan.
Bersosialisai dengan orang tua/wali juga diperlukan untuk mengetahui potensi
dan bakat peserta didik.
D.
Guru Sebagai Kedudukan
Terhormat
Teori tentang guru sebagai profesi mulia dikembangkan oleh para penulis
muslim klasik, seperti Al-Ghazali dan ibn Miskawaih. Mereka mengembangkan
sebuah pandangan bahwa profesi guru memiliki dimensi teologi dan memiliki
keistimewaan spiritual. Menurut mereka, guru merupakan profesi samawi (langit)
yang datang sebagai anugrah (mauhibah) dari Tuhan kepada orang-orang yang
dikehendaki-Nya (Jasjis, 1998: 267).
Pandangan para penulis muslim klasik
tentang guru dikaitkan dengan sifat pengetahuan yang di emban oleh guru dan
efek yang timbul dari profesi tersebut. Sebagai acuan normatif, guru termasuk
kedalam pernyataan Al-Qur’an sebagai sandaran pandangan, yaitu pernyataan bahwa
orang-orang yang berilmu akan diangkat derajatnya. Dengan demikian, kedudukan
istimewa mereka adalah anugerah, bukan diusahakan. Mereka sengaja diposisikan
Allah sebagai kedudukan terhormat dan mendapat tempat dihati manusia. Ini
adalah pernyataan Al-Ghazali yang berkaitan dengan profesi guru:
Makhluk yang paling mulia dimuka
bumi adalah manusia. Komponen manusia yang paling mulia adalah kalbunya. Guru
selalu menyempurnakan, menggunakan dan menyucikan kalbu, serta menuntunnya
untuk dekat kepada Tuhan. Menjadi guru, bukan sekedar ibadah kepada Tuhan,
tetapi merupakan bentuk pelaksanaan manusia sebagai khalifah Tuhan. Guru adalah
khalifah-Nya. Hal ini dikarenakan kalbu seorang guru dibuka secara sengaja oleh
Allah untuk menerima anugerah ilmu yang merupakan sifat-Nya yang sangat mulia
dan istimewa (Al-Ghazali, t.th.. 13).
Adapun pengertian yang lain tentang guru
adalah seorang administrator, informator, konduktor dan sebagainya, dan harus
berkelakuan menurut harapan mesyarakatnya, Dari guru, sebagai pendidik dan
pembangun generasi baru diharapkan tingkah laku yang bermoral tinggi demi masa
depan negara dan bangsa.
Guru memang menempati kedudukan yang
terhormat di masyarakat. Kewibawaanlah yang menyebabkan guru dihormati,
sehingga masyarakat tidak meragukan figur guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah
yang dapat mendidik anak didik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian
mulia.
Dengan kepercayaan yang
diberikan masyarakat, maka dipundak guru diberikan tugas dan tanggung jawab
yang berat, mengemban tugas memang berat. Tapi lebih berat lagi mengemban
tanggung jawab, sebab tanggung jawab guru tidak hanya sebatas di dinding
sekolah, tetapi juga diluar sekolah.
Pembinaan yang harus
diberikan tidak hanya kelompok, tetapi juga individu. Hal ini menuntut guru
agar selalu memperhatikan sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak didiknya,
tidak hanya dilingkungan sekolah tetapi juga di luar sekolah sekalipun.
Adapun dari kedudukan guru tersebut
terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang guru menurut Prof. Dr. Zakiyah
Darajat yaitu:
1. Takwa kepada
Allah SWT.
2. Berilmu
3. Sehat jasmani
4. Berkelakuan baik.
Al-Ghazali menyebutkan
bahwa pengetahuan memiliki dua dimensi, yaitu dimensi rabbani dan dimensi
insani. Pengetahuan yang bersifat rabbani merupakan tingkatan tertinggi
pengetahuan. Para pengemban pengetahuan ini memiliki tingkat ritual dan olah
batin (riyadhah an-nais) yang tinggi yang menghasilkan efek yang tinggi pula
bagi diri mereka (Najati, 1993 :123). Dengan demikian, para pengemban pengetahuan
adalah pemangku kesucian dan sakralitas yang tentunya memiliki keistimewaan
(maziyyah) yang berefek pada keadaan dan kedudukan mereka.
Sebagai pemangku jabatan yang mulia,
menurut Al-Ghazali, guru harus memiliki tiga kompetensi dasar:
1.
Kompetensi Ruhaniyyah, yaitu kemampuan dasar menyangkut
perilaku batin dan ketersambungan dengan Allah.
2.
Kompetensi akhlaqiyyah, yaitu kemampuan dasar menyangkut
perilaku moral, seperti kejujuran, rendah hati dan tidak tamak.
3.
Kompetensi ijtima’iyyah, yaitu kemampuan dasar menyangkut
kepedulian terhadap orang-orang di sekitarnya. Kompetensi ini terjelma dalam
sifat penuh kasih sayang, bijak (hilm), dan sabar.
Dalam pemikiran pendidikannya, Al-Ghazali menekankan
pentingnya unsur ikhlas dalam mengajar. Dalam fatihat al-ulum, ia mengemukakan,
“manusia itu semuanya bakal binasa, kecuali orang alim, orang alim itu pun
semuanya akan hancur, kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya, orang yang
mengamalkan ilmunya juga akan lenyap kecuali orang-orang yang ikhlas dalam
beramal (Ghazali, t.th.: 24).”
Setelah
membaca pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa ada tiga unsur pokok yaitu :
yang pertama, untuk menjaga kelestarian umat harus ada guru, kedua, tidak ada
artinya seorang guru apabila guru tersebut tidak mengajarkan ilmunya, yang
ketiga adalah mengajar akan berarti apabila dilandasi dengan hati yang ikhlas.
Kasih sayang dalam jiwa menurut pandangan Al-Ghazali adalah sesuatu yang
menyangkut nilai atau jiwa islam. Jadi, ilmu apapun yang disampaikan oleh guru
harus dilandasi dengan nilai islam. Oleh karena itu, nilai islam itulah yang
harus dibentuk dan ditransfer oleh guru.
Al-Ghazali
membagi keberadaan guru pada empat macam:
1.
Guru yang sebagai penyimpan ilmu tanpa dimanfaatkannya;
2.
Menyimpan dan memanfaatkannya dengan tidak meminta-minta;
3.
Menyimpan dan memanfaatkan hanya untuk dirinya sendiri;
4.
Dengan ilmu itu dipergunakan untuk menolong orang lain.
Menurut Al-Ghazali, kriteria keempatlah yang paling mulia
sebab guru yang dapat memberi petunjuk dan dapat bermanfaat bagi orang lain ibarat
matahari yang menyinari (benda-benda) lainnya.
Selanjutnya, Al-Ghazali
menjelaskan bahwa pekerjaan seorang guru adalah pekerjaan yang paling mulia dan
jabatan yang paling terhormat. Ia menempatkan para guru dalam barisan para Nabi
karena menyampaikan dan menjelaskan kebenaran kepada manusia. Walaupun begitu,
Al-Ghazali menekankan bahwa guru yang cerdas dan bermoral yang layak diberi
amanat mengajar. Menurutnya, guru yang cerdas dan bermoral memiliki sifat-sifat
sebagai berikut.
1.
Kasih sayang dan simpatik; Al-Ghazali memberi nasihat
kepada guru untuk berlaku sebagai seorang ayah terhadap anaknya. Bahkan, dia
berpendapat bahwa hak seorang guru itu lebih besar daripada seorang ayah
terhadap anaknya.
2.
Tulus Ikhlas; Al-Ghazali berpendapat bahwa guru itu tidak
layak menuntut honorarium sebagai jasa tugas mengajar dan tidak patut
menunggu-nunggu pujian, ucapan terima kasih, atau balas jasa dari muridnya.
3.
Jujur dan terpercaya; seorang guru harus menjadi seorang
penunjuk terpercaya dan jujur terhadap muridnya. Sebagai penunjuk (penasihat)
yang terpercaya, guru tudak boleh membiarkan muridnya memulai pelajaran yang
tinggi sebelum menyelesaikan pelajaran sebelumnya. Ia selalu mengingatkan
kepada muridnya bahwa tujuan akhir belajar ialah taqarrub kepada Allah, bukan bermegah
diri mengejar pangkat dan kedudukan.
4.
Lemah lembut dalam memberi nasihat; tida berlaku kasar
terhadap murid dalam mendidik tingkah laku.
5.
Berlapang dada; guru tidak boleh mencela ilmu-ilmu yang
diluar kompetensinya.
6.
Tidak pelit dengan pengetahuan
7.
Mempunyai idealisme.
Berkenaan dengan guru sebagai simbol moralitas, Al-Ghazali membuat ungkapan
yang sugesti dalam bentuk perumpamaan, “guru dengan murid bagaikan
bayang-bayang dengan kayu. Bagaimana bayang-bayang itu menjadi lurus, padahal
kayu yang tersinari itu bengkok (Ghazali, t.th:102)”.
Adapun Ibn Maskawaih menyebutkan bahwa guru adalah penyebab utama
eksistensi intelektual manusia karena pengajaran yang mereka berikan dan ilmu
yang mereka kembangkan. Menurutnya tugas guru adalah (1) meluruskan dan memandu
manusia dengan ilmu-ilmu rasional, (2) memandu manusia dengan keterampilan
praktis sesuai dengan kemampuannya (ibn Maskawaih, t.th:88)
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum, sebagaimana dikatakan olen
brown dan Collins, faktor-faktor budaya memainkan peranan dalam pembentukan isi
ide ilmiah sehingga ide ilmiah tidak bersifat independen dan muncul secara
“sembarangan”. Kita mengambil salah satu contoh ide ilmiah yang tidak lepas
dari pengaruh faktor budaya yang kuat, yaitu teori evolusi dari Darwin. Teori-teori
ilmiah muncul berdasarkan pertimbangan-pertimbangan budaya. Pernyataan ini
dapat dilihat dalam tulisan-tulisan Theodore Brown (1970). Dia menegaskan bahwa
motifasi para dokter dan filsuf dalam menerima mekanisme ilmiah pada dasarnya
bersifat politis, tidak bersifat intelektual. Sebab, mereka terasosiasi dalam
suatu organisasi, yaitu The Royal College of Physicians, yang prestisius dan
memonopoli dalam berbagai pandangan kemedisan dan filsafat. Karena kepentingan
politis, seluruh pandangan mereka tidak berdiri sendiri, tetapi sudah sangat
subjektif, sesuai dengan kepentingan prestisius dan monopoli mereka.
Pandangan-pandangan mereka lebih berupa sebuah pertahanan dari serangan-serangan
para pesaingnya.
Larry laudan (1982) lebih berpandangan
positif terhadap para ilmuwan. Menyebutkan bahwa salah satu kepentingan yang
mendasar bagi para ilmuwan adalah kepentingan penalaran (cognitive). Mereka
mempunyai kepentingan mendesak dalam memproduksi teori – teori yang baik.
Pandangan evolusionisme Darwin tentang
ilmu pengetahuan terdapat dalam buku science as a process: an Evolutionary
Account of the social an conceptual Development of science (1988), tulisan
David Hull. Berikut ini merupakan intisari pernyataan Hull tersebut ditambah
beberapa sisipan dari penulis.
Ilmu
pengetahuan adalah suatu perjuangan untuk tetap hidup, yang mencakup persaingan
yang ekstrem. Pertahanan hidup dalam persaingan tidak akan teraih oleh mereka
yang malu atau lemah. Pertahanan hidup akan dimenangkan oleh mereka yang kuat
menghadapi konflik dan berkompetisi dengan orang lain. Untuk bertahan,
seseorang harus dapat menciptakan pendukung. Pendukung ini harus sistematis,
teratur dan matang. Ilmu pengetahuan diciptakan oleh mereka yang berhasil
menjadi pemenang dan meraih pertahanan hidup, serta bermaksud mempertahankan
kemenangannya.
Guru
diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan berbagai macam hal yang baru dan
sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar dan mengembangkan potensi
dasar dan kemampuannya secara optimal. guru adalah seorang administrator,
informator, konduktor dan sebagainya, dan harus berkelakuan menurut harapan
mesyarakatnya, Dari guru, sebagai pendidik dan pembangun generasi baru
diharapkan tingkah laku yang bermoral tinggi demi masa depan negara dan bangsa. Menurut Al-Ghazali ada tiga kompetensi dasar yang harus
dimiliki oleh seorang guru yaitu kompetensi ruhaniyyah, kompetensi akhlaqiyyah
dan kompetensi ijtima’iyyah. Guru
dan Dosen, pada pasal 10 ayat (1)
menyatakan “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi professional, dan kompetensi sosial, yang diperoleh melalui
pendidikan profesi.
Kompetensi kepribadian
adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian
yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta
didik, dan berakhlak mulia.
Kompetensi
pendagogik adalah Kemampuan
pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi
profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam,
yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan
substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur
dan metodologi keilmuannya.
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
bergaul secara efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang
tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Abu .2007 . Sosiologi Pendidikan
. Jakarta: Rineka Cipta
Gunawan, Ary. 2000. Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta
Mahmud, Suntana .2012. Antropologi pendidikan. Bandung: Pustaka
Setia
Moeliono, Antoni, et. al. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustaka
Nasution, S. 2009. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Nurdin, Muhammmad. 2010. Kiat Menjadi Guru Profesional.
Yogyakarta: AR. Ruzz Media Group
Soetjipto, Kosasi
Rafles .2009. Profesi
Keguruan. Jakarta:
Rineka
Cipta